Source: here | Edited by me:) |
Sudah hampir satu jam aku duduk di kursi
ini, dalam kedai teh terkenal kota ini. Tempatku di dekat jendela, tempat
kesukaanku. Di sampingku ada pohon maple plastik,
indah. Mengalun pelan lagu nostalgia, lupa judulnya. Di kedai luas ini ada
berbagai macam orang, mulai dari yang sibuk bercengkrama, menikmati teh dengan
makaron, ataupun yang menunggu sepertiku. Ya, aku menunggu seseorang. Seseorang
yang teramat penting. Seseorang yang begitu kurindukan.
Aku sudah mulai letih duduk. Hampir dua
cangkir teh habis dalam siang ini. Namun aku akan bertahan. Tetap
menunggunya.
Adalah teman sewaktu sekolah menengah. Aku
mengenalnya dari teman-teman yang membicarakannya, entah itu kecantikannya,
kemanisannya, kebaikan hatinya, kepintarannya, hingga namanya yang menurutku
spesial. Sempurna, katanya. Mana mungkin pula gadis seperti itu
mengenalku? Dan saat aku bertemu langsung dengan gadis itu, aku membetulkan
kabar angin itu.
Sempurna.
Saat pertama aku melihatnya, kukira ada
bidadari yang berevolusi memakai seragam SMA. Namun tidak. Sungguh awalnya aku
tak menyangka ada gadis seperti itu di sekolah yang tak terkenal di kota. Wajah
berwarna langsat, mata tak bulat tak sipit hitam legam, lesung pipinya begitu
sering muncul, serta matanya yang ikut tersenyum saat dia tersenyum. Rambutnya
sebahu kecoklatan. Ada satu lagu yang menurutku spesial dari dia, namun
dianggap orang lain aneh. Adalah namanya.
Coba tebak, siapa nama gadis yang
membuatku meningkari janji untuk naksir orang tidak lebih tidak kurang saat
umur tujuh belas (begitulah aku berjanji pada ibuku setelah beliau mengomel
tentang nakalnya remaja saat itu, saat aku berumur lima belas)?
“Namaku Purwaningsih, panggil saja Pur.”
Begitulah jawabnya setelah aku dipaksa
dengan teman-temanku yang usil untuk berkenalan dengannya. Pur. Kan bisa saja
dipanggil Ningsih, atau Asih?
Aku tetap naksir dia meskipun namanya
janggal—banyak anak cowok yang mundur mendapatkan si Pur karena tidak tahan
karena kejanggalan itu. Bahkan mantan kekasih Pur sewaktu SMP memutuskan
hubungan dengan Pur karena tidak tahan diejek teman-temannya. Tapi, Aku malah
menganggap nama itu istimewa.
Hingga kami—Pur dan aku—semakin dekat dan
saling suka. Mungkin karena kegigihanku, kesetiaanku menyukai Pur. Kedekatanku
dengan Pur yang membuatku semakin populer hingga ke kota, ditambah banyak anak
cowok yang iri kepadaku.
Aku sebetulnya bingung apa yang membuatnya
menyukaiku balik. Aku memang bukan cowok yang narsis atau bagaimana. Pernah
suatu saat aku bertanya pada Pur.
“Karena kau adalah kau, Ndre.” Begitu
jawabnya. Singkat.
“Bukan karena aku tidak seperti
cowok-cowok seperti mereka—yang merasa aneh dengan namamu?” Tanyaku lagi
membuat wajah Pur saat itu berubah. Aku takut dia tersinggung. Namun untunglah
dia tertawa kemudian lalu menggeleng.
“Buktinya, aku bisa suka sama mantanku
yang begitu benci sama aku karena namaku. Kita nggak akan tahu kapan dan karena
apa kita bisa jatuh hati, Andre.”
Saat itulah pertama kali aku dan Pur
membicarakan cinta, saat usia enam belas—setahun lebih dini dari janjiku dulu.
Dilanjutkan pembicaraan-pembicaraan manis. Saat itu pula, kami bisa dibilang
‘jadian’. Jadian dengan cewek unik satu ini!
Dan saat usiaku tujuh belas, Pur
meninggalkanku.
Kami masih sama-sama duduk di kelas
sebelas, dan Pur memutuskan pindah. Aku saja mendengar kabar itu dari
teman-teman yang lain. Tidak dari mulutnya sendiri.
“Kenapa, Pur? Kenapa harus pindah? Kenapa
pula tak beritahu aku dulu?” Seperti itulah aku memberondong Pur.
“Maafkan aku, Ndre. Ini keputusanku dan
juga keluargaku. Kami memutuskan pindah karena—“ Kalimatnya terpotong.
“Karena?”
“Karena kakakku butuh berobat di
Surabaya.”
Pur pernah cerita, kakaknya mengidap suatu
penyakit yang susah disembuhkan—aku lupa, susah pula menyebutnya. Dan di kota
kecil seperti kotaku tentulah alat medis sungguh terbatas.
“Tak bisakah kau tinggal, Pur? Hanya
tersisa beberapa bulan sebelum kita lulus.” Pintaku. Tentu saja, aku tak pantas
memintanya untuk tinggal. Kakaknya tentu lebih berharga. Aku hanya dapat
menelan ludah getir.
Lalu Pur tersenyum kepadaku, “tapi aku
berjanji akan menemuimu lagi. Setia. Hanya kamu, Andre. Surabaya memang tidak
dekat, namun kita pasti dapat melalui semuanya. Aku berjanji, kita akan
baik-baik saja.” Itulah janji yang ia ucapkan dengan susah payah menahan air
mata.
Aku hanya mengangguk. Karena hanya itu
yang kubisa.
Keesokan harinya, dan hari-hari
berikutnya, termasuk sekarang ini aku belum bertemu lagi dengan rupa cantiknya.
Ini cangkir ketiga. Secangkir black
tea yang tinggal separuh. Aku akan terus menunggunya,
menunggu Pur. Sebelumnya Pur yang mengajakku bertemu melalui telfon (itu
merupakan telfonnya untuk yang pertama), di kota ini. Aku tanpa ba-bi-bu
langsung mengiyakan, tak peduli aku saat itu sedang berada di luar kota.
Black tea-ku kini tinggal ampas tehnya. Aku jenuh. Di luar
hujan. Tetes-tetes hujan menempel di kaca depanku. Tiba-tiba perhatianku
teralihkan pada mobil yang dengan gesit terparkir di luar. Sedan putih. Payung
merah muncul dengan cepat dari balik pintu mobil. Disusul perempuan berbaju
batik merah muda seperti pegawai bank. Wajah perempuan itu begitu sendu—tunggu.
Itu Pur! Sosok yang begitu kutunggu. Dia tidak banyak berubah, masih begitu
cantik namun terlihat lebih dewasa.
Aku ingin berlari menuju Pur tapi aku urung
entah mengapa.
Pur lalu bergerak ke samping, membukakan
pintu. Keluarlah gadis mungil dengan kepang dua. Begitu mirip dengan Pur. Pur
menggandeng tangan anak itu menuju kedai. Payung merah yang ia pegang
tergeletak di pinggir pintu masuk kedai. Tanpa mencari lebih dulu, Pur langsung
dapat menemukanku.
Aku sudah hendak memeluk Pur untuk melepas kerinduan, namun Pur seakan mencegahku dengan mengulurkan tangannya.
“Apa kabar?” Sapanya. Lalu perhatiannya
teralih pada gadis mungil, “salim dulu sama om.” Perintah Pur. Gadis mungil itu
meraih tanganku lalu menempelkannya punggung tanganku ke pipinya.
“Sireen." Ucap gadis mungil itu.
Aku menatap Pur penuh tanya. Siapa gadis mungil itu?
“Dia anakku, Ndre.”
*
Itulah kisahku tentang janji. Tentang
gadis yang membuatku tak menepati janji pertamaku, gadis yang sama, yang tidak
menepati janjinya.
Itulah kisah tentang janji. Janji
yang tidak ditepati.
-FIN-
orang pertamanya cowok ya... bisa juga nih hehe
ReplyDeleteIya, sp orang pertama cowok. Terimakasih sudah berkunjung
Delete