Apa yang ada dalam fikirannya?
Meski tak bisa dijelaskan secara gamblang, tapi.... Tapi, tak bisakah
mengerti?
Bahasa kerennya sih, tak peka.
Jujur saja, dua bulan terakhir ada seseorang yang (katanya) menyukaiku,
Danar. Dia begitu tampan. Wajahnya teduh menyejukkan, apalagi mata cokelatnya.
Meleleh bila menatapnya lama-lama. Dia tidak putih, sawo matang tipikal orang
Indonesia. Hidungnya standar, tidak mancung juga tidak pesek. Senyumnya....indescripable,
sweet! Kalian tak bertanya bagaimana
aku? Aku gadis biasa yang magang di perpustakaan mantan kampusku, di
universitas terkenal kotaku. Aku lulusan perbukuan di universitas itu pula.
Dia, yang menyukaiku, juga anak magang. Bedanya dia magang di rumah sakit
universitas. Faktanya lagi, dia temanku saat SMA. Namun aku tak begitu
mempedulikannya, masa bodo!
Bagaimana rasanya disukai orang yang begitu populer?
Confusing.
Ya, dia begitu populer. Mulai dari kantin kampus hingga ujung perpustakaan
ini pasti menoleh dan memperhatikan dia. Sampai-sampai aku kebawa
populer.
Entah apa yang kurasakan. Ada perasaan suka (siapa yang tidak suka
dengannya, coba!) namun ada perasaan yang ganjal. Entahlah, apa itu perasaan
takut kebawa populer, takut banyak pembenci, takut.... takut saja.
Awalnya aku benar-benar masa bodo. Saat pertama kali
dibilangi sahabatku,
"Denia, ada berita ajaib! Itu.... Danar suka sama elu."
Aku hanya merespon acuh tak acuh. Danar siapa! Mas Danar penjaga kantin?
Dan seketika Rissa menjitakku. Mataku benar-benar melebar saat tahu Danar siapa
yang dimaksud.
Dan saat ini, tak bisa dipungkiri seorang Denia suka sama Danar. Terbukti,
aku tak mengerti.
*
Tadi malam aku dengan mata kepalaku sendiri melihat Danar duduk di bangku
sekitar air mancur dekat perpustakaan. Anehnya, Danar bersama seorang cewek!
Cemburu? Mungkin saja. Yang lebih menyebalkannya lagi, kata Rissa cewek itu
mantan kekasihnya Danar. Sebelumnya tak pernah seperti ini. Sungguh. Apalagi
saat aku memahami sifat Danar dari sohib-sohibnya. Termasuk fakta bahwa Danar
akan berusaha dengan cara apapun untuk mendapatkan apa yang dia ingin.
Bukankah yang dia inginkan adalah aku?
Hffft.
Aku tak tahu, ya kapan tepatnya aku menyukai Danar. Benar-benar kutipan
kita tidak akan pernah memprediksikan kita jatuh cinta itu nyata! Tapi
sepertinya, aku harus membuat catatan memori. Dan hasilnya adalah, tiga minggu
yang lalu. Saat aku ada shift jaga perpus malam (malam itu hujan deras), Danar
saat itu yang basah kuyup menghampiriku yang sedang menyortir buku-buku.
Saat kutanya mengapa, Danar hanya menjawab dengan ringan, "aku hanya ingin
memastikan kamu baik-baik saja, Denia." Selanjutnya, kalimat itu selalu
terngiang, selalu. Dan sepersekian detik setelah kalimat itu keluar dari
mulut Danar, aku mutlak jatuh cinta kepada cowok slengekan tapi keren itu.
Klise?
Oke, kisah ini akan lebih klise lagi saat kalian membaca kisahku dan Danar
setelah tadi malam.
Mereka berdua nyatanya tidak sekadar duduk di bangku taman, tapi mereka
melakukan.... ah! Ini dia bagian tersulit. Beberapa hari lalu pun aku serta Rissa kerap melihat Danar bersama cewek itu. Oh Tuhan. Danar benar-benar melukaiku di saat
aku perlahan menerimanya. Lama aku memperhatikan mereka dari jendela
perpustakaan. Danar sungguh membuatku tak mengerti. Jadi, fakta dari sohib
Danar itu cuma omong kosong. Setelah aku merasa begitu panas dan air mataku
sempurna mau kabur, dengan gemetaran aku menelfon Danar. Lalu aku melihat dari
balik jendela Danar menjauh dari mantan sialan itu. Aku bertanya dengan dingin,
sedang apa dia. Dia menjawab dengan basa-basi dulu (tak seperti biasa, biasanya
dia selalu tepat sasaran, pas, bahasa kerennya cuek). Dalam tak lebih 5 menit
di telefon, kami membuat janji. Ketemuan di kafe biasa, jam sembilan pagi tak
kurang tak lebih.
*
Di sinilah aku, menunggu Danar di kafe favorit kami berdua. Bukan, Danar
tidak telat, Danar bahkan takkan pernah telat. Aku saja yang datang terlalu
dini. Di sampingku telah ada americano yang kian
mendingin. Hingga munculah Danar dengan wajah ceria, dia memakai kaus putih
pemberianku dan celana semi-jeans biru. Simpel, namun aku yakin tak sesimpel itu apa yang ada di balik
penampilannya.
"Kok udah sampai, padahal janjiannya tak kurang tak lebih?"
Godanya. Aku tersenyum (terpaksa). Kemudian Danar memesan secangkir affogato, kesukaannya.
"Tumben, Dania."
"Kenapa?"
"Tumben cemberut aja. Kamu sehat kan? Kamu baik-baik saja?"
Tanyanya, begitu polos.
"I'm okay." Jawabku sedikit parau, mengingat kejadian
semalam. Ya jelas aku tidak baik-baik saja!
"Kalau gitu, ceria, dong!" Danar mencoba menarik kedua ujung bibirku
membentuk senyuman. Aku risih. Langsung menyungkirkan tangannya. Setelah itu,
keadaan menjadi canggung. Ini tidak boleh dibiarkan canggung. Maksud ketemuan
ini kan, agar semuanya jelas.
"Kamu tumben tampil sederhana. Lagi nggak ketemu sama mantan kamu itu?
Ah, kamu kan bagaimanapun selalu terlihat ganteng." Aku mencoba
menyinggung, sedikit.
"Maksud kamu?" Dahinya mengernyit.
"Bercanda," Tukasku.
"Kamu tak pernah sekalipun terlihat jelek, santai aja." Tambahku.
"Nggak, bukan itu. Maksudmu apa?"
"Bercanda..." Jawabku. Sungguh aku ingin mengatakan yang
sebenarnya. Tapi tak sanggup! Setiap kali sudah mau diucap malah tertelan lagi.
Jadilah, aku hanya mengedarkan pandangan ke penjuru kafe alih-alih menatap
matanya yang kian mengejar.
Kafe favoritku tak seperti biasanya. Lebih ramai. Kebetulan di luar hujan.
Untunglah, sedikit bisa meredam panas di hati.
Sunyi.
Aku diam tanpa kata, begitupun Danar. Setidaknya, Danar tahu kemana aku
membawa arah pembicaraan. Bukannya aku ingin berdiam diri seperti ini, begitu
banyak yang ingin kutanyakan, kuungkapkan, padanya. Mulai dari hal kecil; sudah
makan? berangkat sudah mandi, kan? kamu bawa payung? hingga hal yang membuat
selera makanku hilang; sebenarnya apa hubunganmu dengan mantan sialanmu itu?
Sayangnya, semua itu hanya di ujung bibir. Tak terucap.
Jadilah, wajahku semakin pucat akan emosi yang terpendam.
"Kamu baik-baik saja? Aku antar kamu pulang?" Tanyanya dengan
nada khawatir. Entah itu benar-benar khawatir atau akting. Hanya dia dan Tuhan
yang tahu.
"Aku baik-baik saja." Jawabku.
"Sebenarnya kita itu apa sih, Danar?" Tanyaku, dingin.
"Apa?"
"Pacar enggak, teman enggak, sahabat juga enggak."
"Lho, kita itu teman. Kamu nggak ngakuin itu?" Danar sedikit
tertawa dipaksakan. Aku berpaling, menghela nafas panjang.
"Kamu mau tahu jawabannya? Aku itu orang yang mengaguimu, Denia.
Teramat mengagumimu."
Aku tertawa sumbang.
"Oke, kamu mengagumi aku. Lantas bagaimana dengan mantan sialanmu itu,
hah?" Akhirnya...
Wajah Danar memerah, dia terlihat gelagapan mencari jawaban. Betul kan. Ada
apa-apanya.
"Tuh kan! Kamu gak bisa jawab, Danar!" Aku meninggikan suara.
Orang-orang menoleh ke arah kami, peduli amat!
"Ng.. nggak ada apanya. Dia cuma mantan, ya mantan!" Jawabnya.
Cih!
"Jujur, Danar! Tolong, jujur!" Pintaku, terdengar akan
desakan.
Lama.
Matanya kemana-mana. Hendak menjelaskan, namun terlihat takut-takut.
"Aku suka dia, Denia." Jawab Danar. Seketika membuat hatiku
teremas. Aku tertawa miris, bahkan air mataku tinggal jatuhnya.
"Sudah kuduga, kamu suka LAGI sama dia." Kataku, kemudian tertawa
getir. Aku kemudian berdiri hendak pergi dari kafe sialan ini. Namun Danar
menahan tanganku. Tolonglah, Tuhan. Aku sudah tak sanggup lagi melihat wajah
itu!
"Enyahlah dari hadapanku, Dan! Jangan pernah muncul lagi di
kehidupanku--" Kalimatku terpotong.
"Tunggu, Denia." Aku buru-buru menepisnya, namun cengkramannya
begitu kuat.
"Tapi ada satu hal yang kamu harus tahu, Denia. Boleh saja aku
menyukai Sheva lagi. Namun aku mencintaimu, Denia. Teramat mencintaimu."
Aku lagi-lagi tertawa miris.
"AKU NGGAK PEDULI, DANAR!" Aku membanting tangannya, lepas.
Cengkramannya lepas. Aku buru-buru keluar dari kafe itu. Air mataku sempurna
menjadi sungai di pipiku. Aku merasakan Danar mengikutiku.
"Denia, kamu boleh saja marah sama aku. Tapi biar aku antar kamu ke
rumah," Rajuknya. Aku berbalik, menghujam dadanya, menangis di dadanya,
"Tinggalin aku sendiri, Danar!"
*
Beberapa tahun berlalu, sejak kejadian suram di kafe bersama seseorang
bernama Danar itu (ceritanya, aku menghapus Danar dari ingatanku namun tetap
tidak bisa, aku malah semakin tersiksa).
Kini umurku dua puluh lima. Aku sudah bekerja di penerbit sebagai editor.
Yup, editor. Editor fiksi. Aku dulu sempat bertanya-tanya ngapain harus magang
di perpustakaan, itu kan membuatku bertemu dan kenal dengan Danar.
Kala itu, aku memutuskan berhenti magang di perpustakaan. Menghindar dari
Danar. Sejak saat itupun aku tak bertemu dengan Danar.
Namun rasanya seperti deja vu. Aku seperti merasakan hangatnya Danar.
Ternyata, oh ternyata,
Aku membaca, memilih dan memproses naskah, anehnya, ya itu, aku merasakan
deja vu.
Judul naskahnya Dan Semua Semu.
Aku benar-benar menjadi editor yang bodoh saat membaca naskah itu. Nangis,
tertawa, tersinggung, bingung saat membacanya. Hingga aku berpikir penulisnya
adalah Danar. Mengingat Danar dulu ingin menerbitkan sebuah novel fiksi.
Bukan. Bukan Danar. Penulisnya bernama Kartika eh, Kartisa, atau
siapalah!
Hingga sampai di halaman terakhir naskah yang membalik kehidupanku. Sepucuk surat yang ditulis tokoh utama buku ini kepada orang yang dikasihinya.
Bogor, 10 Juni 2009
Sayang, aku tahu kamu begitu membenciku
Tapi izinkan aku menulis sesuatu untukmu
Karena tanganku tak akan bisa berhenti menuliskan
Karena aku terpuruk sendiri, dingin mencekat
Aku belajar hal-hal ini darimu bila;
Selalu ada kebenaran dalam canda
Selalu ada sedikit emosi dalam kalimat ku tak peduli
Selalu ada sedikit rasa sakit dalam baik-baik saja
Selalu ada sedikit aku-rindu-kamu dalam tinggalkan-ku-sendiri
Dan, ada banyak kata di balik keheningan
Sayang, aku merindukanmu
Dan tak ada rasaku seterpuruk tanpa dirimu
Dan saat semua orang tak mengerti tentang kita
Dangkal, indah, kita telah berusaha
*
Dan, sepersekian detik setelah membaca halaman terakhir naskah klien, aku
memutuskan mencari Danar.
Dangkal, memang.
Tapi setidaknya aku berusaha.
-FIN-
No comments:
Post a Comment