Sunday, August 24, 2014

Segenggam Kolase [Sebuah Cerpen] #9

Source: here
Beruntung adalah sebuah kata yang tepat untuk mendeskripsikan aku saat ini. Menjadi seorang guru di sekolah yang dulu kuhabiskan tiga tahun untuknya. Setiap saat mengajar murid-muriku, kelebatan lima tahun lalu muncul bak iklan dalam film-film promo. Lebih beruntung lagi murid-muridku yang sedang menjalani masa penjajakan ini, berbahagialah kalian, nak. Jangan seperti aku dulu.

"Buka halaman empat puluh satu, ada tujuh soal di sana. Kerjakan dengan baik, oke?" Ucapku final setelah menjelaskan sedikit poin kepada mereka diiringi anggukan pasrah maupun desahan tertahan. Aku tersenyum letih. Merasakan berbagai macam yang ikut berdesir dengan darah sejak awal aku masuk kelas ini. Hijau pupusnya, aroma mawar sesaat dan yang paling membelenggu adalah gemercik air kolam sebagai suara latar. 

Benar, ini salah satu dari tiga kelas yang kujajaki dalam setahun penuh. Kelas yang paling menorehkan kenangan. 

Tak terasa aku melangkah keluar meninggalkan muridku tanpa pamit. Derap langkah hak tujuh sentiku termakan suara gemercik yang memang sedang kutuju. Aku duduk di bangku putih samping kolam air. Senyum letihku menghangat. Air yang mencuat menggores pipiku pelan, menggugah kenangan dulu. 

Ada cerita di balik kolam ikan ini. Antara aku dan dirimu. Kisah klise sebuah kolase. 

Aku sendirian tapi bayangannya mulai muncul seperti bangkitnya kembali tokoh di film sci-fi. Saat muridku di dalam sudah mulai ribut, bayangamu seolah mengajakku bicara, memakai seragam putih abu. Baiklah, aku akan bicara denganmu wahai bayangan sebagai perwakilan rindu kepada fisik aslinya yaitu kamu.

Seolah pertama kali kita duduk di bangku putih ini, berdua. "Udah ngerjain matematika?" Aku mengangguk dalam hati melontarkan pertanyaan mengapa duduk di sini. Dan seketika darah ini mendidih dan jantung berdegup kencang. "Su-dah." Hanya itu yang kubisa.

"Apa menurutmu aku naif?" Tanyamu kemudian. Aku mengerutkan dahi, tak mengerti. "Kau tahu, aku anak yang nakal, jarang ngerjain pr, tengil, dan lain sebagainya. Tapi apa menurutmu aku naif?" Lanjutmu.

"Nggak." 

"Coba jelasin kenapa nggak?"

"Karena.... kamu emang bukan naif penyanyi itu, air dan api." Tawamu meledak. Kamu menyenggol lenganku yang seolah tersengat listrik.

"Ke-kenapa?" Kamu masih berusaha menenangkan tawamu. 

"Maksudku bukan gitu tau. Aku pengen tahu aja kenapa kamu sering menatapku dengan tatapan kurang suka." Aku tertegun mendengarnya. Jadi selama ini kamu tahu aku diam-diam memperhatikanmu, ya itu benar. Tapi salah bila kamu beranggapan itu adalah tatapan kurang suka. Sukses berarti aku menyembunyikan 'kesukaanku' dengan tatapan kurang suka.

"Aku nggak senaif yang kamu bayangkan, lho, Syaf. Kamu jangan terkecoh ya." Ucapmu lembut. Aku mengangguk padahal tidak tahu apa maksudnya.

Hening dan aku sangat berharap perbincangan ini berlanjut tanpa mengkhawatirkan digoda oleh kawanku. Bagi mereka duduk berdua, sebangku, adalah hal yang biasa untuk anak SMA. 

"Apa yang kamu perhatikan, Syafira? Apakah batu berwarna yang tergerus air, refleksi anakan cemara melambai-lambai di permukaan, ataukah-" 

Kamu. 

"Ikan koi." Jawabku mengawur. Untunglah aku bisa mengendalikannya.

"Wah, aku suka sekali sama ikan koi. Menurutku koi adalah ikan yang menyembunyikan berbagai misteri di balik kecerahan penampakannya." Kamu mulai menunjukkan kecerewetanmu yang terpendam. Dan entah mengapa aku suka itu.

Kamu terdiam, "Suatu saat kamu bakal tahu." Lantas tersenyum.

***

Setelah kamu meninggalkan pertanyaan di hari itu, kurasa bertambah rasa sukaku. Apakah cinta? Aku tak tahu. Rasanya bola mataku enggan lama-lama berpaling darimu. Padahal aku berprinsip untuk memblokir segalanya yang berurusan dengan itu sejak cinta pertamaku yang tanggal.

"Selamat pagi." Bisikmu. Setiap pagi pun kamu tak absen mengucapkannya. Aku hanya bisa tersenyum. Bukan apa-apa. Aku terlalu takut untuk menjawabnya. Takut ketahuan suaraku bergetar saat mengucap. Saat aku telah terbiasa dengan ucapan itu, tepatnya satu bulan kemudian, aku memberanikan diri membalas ucapan itu, "Pagi." Balasku. Hari-hari di sekolah seakan segalanya tentang kamu. Senyumku kini tidak ragu-ragu mengembang dan ada alasan untuk itu. Kurasa aku mencintaimu. Dan aku tak punya alasan untuk itu.

"Kamu sakit?" Tanyamu. Kini aku terkulai lemah di bangku putih. Tanganmu mencoba meraihku namun aku buru-buru menepis keras.

"Kamu kenapa, Syaf?" Nada suaramu mulai meninggi dan aku mengabaikannya. Tak kuasa mengucap kata apalagi berdebat saat perut melilit juga seolah ditusuk-tusuk jarum seperti ini. Kamu terus mengoceh menyuruhku ke dalam, ke UKS, hingga bersikukuh menggendongku untuk pulang. Tolong, aku hanya perlu ketenangan.

"Diam!" Teriakku dan kamu diam seketika. Aku menahan nafas, perutku sakit sekali. Kamu mulai meninggalkanku dengan kesal.

Esok harinya, adalah pertengkaran pertamaku denganmu, konyolnya, dikarenakan oleh sakit perut. 

"Kalo kamu risih sama aku kamu bilang aja, Syaf. Aku terima apa yang kamu rasa." Itu kalimat pertamamu. Pulpenku berhenti di udara, aku menatapmu.

"Maaf soal kemarin. Maaf bikin kamu kesel, bahkan marah." Ucapku. 

Kamu tertawa sinis, "Gini nih, nasibku. Mau bilang apa gak boleh, mau marah, emang hak aku apa!" Kamu jadi ngomong tidak jelas dan aku bingung harus ngapain. Jadi aku diam saja membiarkanmu mencercaku hingga kamu capai.

Dan setelah itu, kosong. Dirimu memutus semua hubungan meskipun hanya teman. Meskipun sekadar ucapan sesederhana selamat pagi.

***

Bisa di bilang hari ini hari terakhir sekolah. Kelulusan terlampau di depan mata. Hingga kelulusan pun kamu tidak mau membuka mulut untukku ah, jangan jauh-jauh lah. Menatap mataku saja kamu sepertinya jijik. Kita bahkan cuma teman. Bayangkan. Sebegitu mudahnya teman menjadi musuh.

Setelah foto bersama satu kelas, setelah nangis-nangis bersama, setelah sesi tanda tangan, aku tidak menyangka kamu menghampiriku. Ikut nimbrung di sampingku yang sedang asyik memakani ikan koi. Awalnya aku terperanjat dan ingin kabur. Tapi hati ini memaksa bertahan. Bila tidak, selamanya kita mungkin akan musuhan.

"Tolong beri makanan ikannya." Pintamu, aku mengulurkan tanganku yang penuh makanan ikan. Romantisme di balik hiruk pikuk kelulusan.

"Maaf." Bisikmu membuat hatiku bergetar. Aku mengangguk patah-patah. 

"Menurutmu apa yang membuat kita jadi kayak anak SD dulu?" Tanyamu diiringi secuil tawa. Aku mau tidak mau ikut tertawa. 

Cinta. 

"Cinta?" Kali ini aku mengucapkan apa yang hatiku bisikkan. 

Raut mukamu berubah dan aku mencoba tetap tenang. "Haruskah aku sebut itu cinta?" Sarkasme itu meluncur begitu saja.

"Cinta bukanlah definisi yang tepat bagi rasa anak SMA." Katamu menusuk. 

Aku masih mencoba tenang padahal nafasku tersenggal. "Benar." Kataku kemudian. Kecewa menelusupiku.

"Kalau pun itu definisi yang tepat, aku nggak bakal ragu-ragu bilang aku cinta kamu, Syafira."

APA?

Aku menatapmu yang sedang menatapku lembut, "Maaf, Syaf."

"Masih ingatkah kamu apa yang kukatakan tentang ikan koi?" Aku melepas mataku dari matamu dan mulai menjelajahi isi kolam. Ikan koi cerah bertebaran.

"Oh iya. Terakhir kali kamu bilang, suatu saat kamu akan tahu, tapi hingga kini aku nggak ngerti-ngerti." Aku terkekeh.

"Bisa kamu lihat bercak yang selalu ada di tiap-tiap koi?" Tanyamu, aku mengangguk. "Bercak itu adalah misteri, Syaf. Menurutku, bila tiap-tiap bercak oranye koi dalam suatu lapang pandang di satukan itu akan bertransformasi menjadi sebuah kolase yang luar biasa." 

***

Kalimat tentang kolase koi itu menjadi ujung dari pembicaraanku denganmu. Hingga saat ini. Lima tahun berlalu, dan aku telah meraih cita-citaku, tapi tidak cintaku.

Kalau boleh aku meminta, aku meminta kamu dan aku bertemu kembali. Sebuah kesempatan untukku menyelesaikan misteri kolase koi itu. Baru kusadari misteri itu sebetulnya dekat, amat sangat dekat denganku.

***

Tuhan, kalau boleh aku meminta, pertemukan aku dengannya dalam sebuah jalan petak kecil. Pertemukan aku dengannya saat aku membawa ikan koi ciptaanmu. Terimakasih telah menyadarkan aku apa itu segenggam kolase yang dia maksudkan. Itu adalah cinta. Bercak jingga ikan koi bila disatukan akan membentuk kolase hati, simbol cinta.Tuhan, bila dia tidak tercipta untukku, bolehkah aku meminta untuk terakhir kalinya, tolong jaga genggaman kolase itu dariku untuknya. Dengan cinta yang senantiasa menyelumuti.

-FIN-

No comments:

Post a Comment