Saturday, January 24, 2015

Rasa yang Tak Pernah Habis [Sebuah Cerpen] #10

Source: here
Aku memasukkan handphone yang sedari tadi kupegang ke dalam saku blazerku. Kemeja tipis putih, plus blazer merah marun, rok hitam selutut menempel pas di badanku. Aku belum sempat mengganti pakaian sehabis dari kantor, langsung menuju tempat ini untuk bertemu teman lama.

If I just can call him, 'teman lama'. 

Jam di dinding kedai teh ini menunjukkan pukul lima sore. Semburat jingga terlihat jelas dari dalam jendela kedai. Kurang dua puluh menit lagi, dia datang. Aku menyeruput teh hijau yang tadi kupesan. Hangat, nyaman, membaurkan kenangan lama. 

Denting teko keramik para penyaji membuatku tersenyum. Dulu, dulu sekali, aku dan teman lama yang kumaksud ini sering kesini, hanya untuk mendengar indah denting yang terbentuk alami, bersahut-sahutan. Kami bahkan tak jarang mampir, hanya untuk menciptakan suara yang kami berdua sukai itu.

"Mana yang lebih kamu pilih, teh hijau yang sudah dingin, atau teh lemon anget?" Tanyanya.

Aku senyum, lalu pura-pura berpikir, "Teh melati yang sehari penuh di simpan di dalam teko keramik." 

Dia menoyor kepalaku, "Yeeeee, gak ada di pilihan kali, Key." Aku nyengir. "Aku pilih pilihan yang kedua kalau gitu. Teh lemon anget." 


"Kan, kamu gak suka lemon?"

"Yang penting anget." Jawabku enteng.

"Kok, lebih mentingin angetnya?" Dia bertanya lagi. 

"Yaaa, kalau menurutku, angetnya teh itu yang bikin damai hati. Nyaman." Giliran dia mangut-mangut lagi,

"Kalau teh melati dingin, tapi dapet pelukan dari aku?" Tanyanya polos, tapi membuatku yang sedang menyeruput cangkir teh tersedak. Lalu hening, entah mengapa hatiku mencelos dan jantungku lebih cepat berdetak.

"M-m, gitu juga bo-boleh." Jawabku canggung. Dia lalu menjauhkan tatapannya dariku. Menatap langit senja di balik jendela persis seperti aku saat ini. Dan mungkin itulah awkward-moment kami yang pertama selama dua tahun berteman.

"Keara?" Suara berat memanggilku. Aku menoleh. Memori itu memudar, dan kini yang ada di hadapanku adalah tokoh utama memori itu. 

"Hai." 

Dan hal pertama yang ingin kulakukan adalah memeluknya. Tapi aku urung, tersenyum berdiri dan mengulurkan tangan. Dia menjabat, tersenyum balik. Dia makin..... makin tampan. Kumis tipis itu belum ada dulu saat kami masih SMA. Dan, semuanya. Semua seperti ilusi. 

"Aku kira kamu gak bakalan mau ketemu aku, lagi." Ucapnya setelah menyesap teh hitam yang dia pesan. Asap putih mengepul dari balik cangkir, menguarkan bau yang pekat. Ya, dia bukan anak SMA lagi, anak SMA yang menyukai teh lemon. Kini, dia sebagai orang dewasa, menyukai teh hitam. Seperti orang dewasa lain.

Aku senyum, "Tau pin bb aku dari mana?" 

Dia mengibaskan tangan, "Yah, gak sulit lah dapetnya. Dari Yudha." Hampir saja aku tersedak, dari mana, Yudha?

Seolah membaca pikiranku, dia berkata lagi. "Ya, Yudha."

Lalu hening. Dia menyesap dalam-dalam teh hitamnya. Aku pun menghindari hitam matanya. Takut terjatuh ke dalamnya dan yang lebih kutakutkan, saat aku gak bisa kembali lagi. Out of control. Ah, lebay.

"Gimana kabarnya Yudha?" Akhirnya aku mengumpulkan keberanian untuk bertanya tentang Yudha. Orang yang teramat sangat kurindukan.

"Hahaha. Aku tahu pasti kamu bakal tanya gitu." 

"Aku udah gak pernah kelihatan dia."

"Kan, kamu yang pindah dari kantor, buat menghindar dari Yudha." 

Ya, harus kuakui.

Yudha mantan kekasihku, dua bulan sudah kami berakhir, mengakhiri hubungan tiga tahun terakhir. Jangan tanya mengapa kami putus. Orang bilang, kami adalah pasangan yang sempurna. Hangat, selalu ceria, selalu ada tawa. Tapi itu semua bullshit-nya orang-orang aja. Mereka bahkan tahu kalau Yudha menaruh hati pada cewek lain, Tania. Yang merupakan teman kerjanya. 

Witing tresna jalaran saka kulina, betul?

Yudha bangsat.

Apa susahnya sih, setia. Sama aku. Apa aku terlalu membosankan? Apa aku terlalu...... menuntut? Tapi rasanya enggak deh. Aku nggak pernah memberatkan Yudha. Aku menjalani hidup seperti adanya, menikmatinya, tapi apa yang Yudha ngerasa nggak ia dapat dari Aku? 

Itulah pertanyaan yang ingin aku lontarkan untuk lelaki di hadapanku ini.

"Keara?" 

"Hmmm.."

"Kamu masih cinta sama Yudha?"

Aku menggeleng lemah.

"Keara?"

Tiba-tiba bulir air mata mengalir. Aku mencoba menyembunyikan dari dia tapi tak kuasa. Dia sudah tahu, aku menangis.

"Kamu mau ketemu Yudha? Aku bisa bantu, kasih tau Yudha di mana."

"Nggak. Nggak perlu. Aku minta kamu kesini cuma buat jelasin, kenapa Yudha begitu. Aku butuh cerita lengkapnya. Kamu pasti tahu."

Dia senyum dengan berat hati, aku tahu itu, "Ya, tapi apa kamu nggak pengen denger semua itu dari mulut Yudha sendiri?"

Aku menggeleng, "Kalo, aku bisa. Kalo aku bisa, aku bakal temuin dia dan minta penjelasan. Tapi sayangnya, aku nggak bisa, Han." Air mata mengalir lagi. Kenapa, sih, ketemu teman lama malah jadi melankolis gini, aku.

"Yudha suka Tania, itu betul. Yudha udah gak cinta sama kamu, itu salah." Katanya.

Aku masih menangis di tempatku, menarik-narik tissue gulung yang kini memenuhi meja samping cangkirku. 

"Tapi, kenapa?" Tanyaku lemah.

"Yudha pernah bilang gini ke aku. Ada yang Tania punya dan gak dimilikin sama kamu." Yuhan kembali menerawang.

"Apa?" Tanyaku semakin lemah.

Yuhan terdiam lama, "Masa depan." 

Aku tercekat. "Tapi aku juga kerja, Yuhan. Aku juga kerja." Kataku lemah, "Emang sih gajinya nggak seberapa dari kantornya Yudha sama Tania. Tapi, aku juga kerja...."

"Aku juga kerja." Kataku lagi, berulang kali. Sakit rasanya. Tapi aku lega, akhirnya aku tahu apa alasan Yudha menyukai cewek lain.

"Bukan karena materi, Keara. Bukan karena gaji kamu lebih sedikit dari Tania. Tapi karena--"

"Karena apa?"

"Karena...."

"Apa?" Desisku kemudian.

"Aku gak tega mau bilang ini ke kamu. Mending kamu, ketemu Yudha."

"Udah aku bilang kan, aku nggak sanggup lagi bicara sama Yudha. Ngelihat wajahnya aja aku pengen muntah!" Teriakku mencengkram lengan kemeja Yuhan. Aku dapat melihat dari sudut mataku, orang-orang menengok untuk sekadar mencari dari mana asal teriakan.

Tapi, aku nggak peduli.

Yuhan lalu bangkit, menuju ke kursiku. Lalu merengkuhku. Aku menenggelamkan kepalaku padanya. Menumpahkan segala air mata yang tertahan. 

Sejak SMA, kami bersahabat. Aku, Yuhan dan Yudha. Tapi sore itu, Yuhan menghancurkan persahabatan kami. Yuhan bilang, dia suka sama aku. Yudha dengar. Yudha lalu menghilang dari kehidupan kami berdua, dari situlah aku menyimpulkan baik Yuhan dan Yudha menyukaiku.  Tapi aku nggak tahu cinta siapa yang paling dalam.

Tinggallah aku dan Yuhan. Tapi aku nggak bisa nerima Yuhan. Bukan karena aku nggak suka Yuhan, tapi karena aku suka mereka berdua. Aku suka Yuhan sekaligus Yudha. Egois? Entahlah. Tapi rasaku tetap sama.

Dan ditinggal Yudha, membuatku semakin gigih untuk mendapatkan Yudha. Sedangkan Yuhan, aku bimbang. Aku suka dia, tapi bila aku jadi dengan dia, aku bakal terus teringat Yudha. Dan itu membuatku seperti monster yang egois, monster yang mengerikan.

Hingga akhirnya aku jadi dengan Yudha.

Selama tiga tahun.

Hingga akhirnya hubungan Yudha dan aku berakhir. Rasanya, aku telah membuat kesalahan. Kesalahan fatal dalam hidup. Yang menyianyiakan tiga tahun dalam hidupku.

Dan Yuhan?

Demi tuhan, aku mencintainya. 

Hanya saja, sepertinya aku merasa cintaku kepadanya tertutup oleh cintaku kepada Yudha. Salahkan Yudha, atas semuanya. 

If i could back through the time, if only i could...... but i cant. Darling, i cant.

---

"Yuhan, lo masih single?" Tanya Safira.

"Apa, mau jodoh-jodohin ke temen-temen lo yang serba rempong itu?"

"HAHAHA." Dia tertawa, aku menoyor kepalanya. "Ye, malah ketawa."

"Jadi, elo gak mau gue jodohin, ntar elo nyesel. Eh, gue punya kenalan baru, dia pramugari, cantik, namanya--"

"Stop it!" Kataku menyetop mulutnya.

"Lo gak ngerti-ngerti ya, Saf. Udah ratusan kali gue bilang perasaan. Yes, i'm single. But, my heart is already taken."

"Keara?"

"Yah, siapa lagi." 

-fin-

No comments:

Post a Comment