Monday, January 18, 2016

Mystery of Life: Lauh Mahfuzh

Malem ini, ya, malem ini, sepulang try out aku duduk-duduk bersama Ayah dan Ibu di depan tv sambil menyantap nasi goreng yang baru dibeli. Iseng-iseng, sewaktu tv menayangkan iklan, aku bertanya sebuah pertanyaan yang datang sesaat setelah belajar materi Qadha dan Qadar di kelas:
Kenapa Allah menciptakan orang jahat? 

Jepretanku. Kamu bisa tebak itu apa?
Yang sebetulnya adalah pertanyaan pemanasan, disusul pertanyaan yang lumayan nggak klise:
Allah telah menetapkan takdir seseorang saat dalam janin, dan Allah menuliskan takdir-takdir nya di Lauh Mahfuzh. Lantas, Allah menciptakan 'orang jahat' kalau pada dasarnya takdir yang tertulis di Lauh Mahfuzh adalah: mati sebagai orang jahat?

Oke, oke aku tahu pertanyaan itu terlalu sensitif yang seolah berpasangka buruk kepada Allah. Tapi, sungguh, maksudku tidak begitu. Aku hanya ingin tahu sudut pandang kedua orang tuaku mengenai pertanyaanku yang krusial itu. Barangkali mereka juga pernah berfikir tentang itu, dan mengantongi jawabannya. Dear, Allah. Lemme have Your answer by my two heroes! Dan, apa yang Ayah dan Ibu jawab untukku benar-benar membantu banget. Benar-benar membuka mataku yang sebelumnya sehabis pelajaran Qadha dan Qadar itu blind-off. Thank you, Yah! 

Aku   : Buk, kenapa Allah menciptakan orang jahat?
Ibu     : Hus! Allah tidak pernah menciptakan orang jahat.
Aku   : Kenapa enggak? Tuh banyak orang jahat! (nunjuk tv yang nayangin berita bom Jakarta)
Ayah  : Tidak, semua orang terlahir baik.
Aku  : Kalau begini, Allah kan telah menetapkan takdir seseorang saat dalam janin, dan Allah menuliskan takdir-takdir nya di Lauh Mahfuzh. Lantas, kenapa Allah menciptakan 'orang jahat' kalau pada dasarnya takdir yang tertulis di Lauh Mahfuzh adalah mati sebagai orang jahat?
Ibu     : Hus! Jangan bicara seperti itu!
Ayah  : Iya. Bisa perjelas lagi?                 
Aku  : Ngapain Allah menciptakan seseorang kalau takdirnya sudah di tulis di Lauh Mahfuzh? Maksudku, bukan salah orang jahat dong kalau masuk neraka. Kan, yang nentuin takdir orang itu Allah.
Ayah  : (ketawa) Biarin dong, Buk, itu pertanyaan bagus. Ditakdirkan sebagai orang jahat atau orang baik, itu bukan tugas kita, manusia, untuk memikirkan takdir. Tugas kita untuk itu hanya satu: ikhtiar.
Aku   : Hm..
Ayah : Bakalan sia-sia bukan membicarakan sesuatu yang hanya Allah yang tahu? Itu hal Ghaib. Selain Allah siapa lagi yang tahu? Kita cuma cukup berikhtiar. Gak usah memikirkan takdir apa yang bakalan ada di Lauh Mahfuzh.
Aku   : Jadi, itu seperti firman Allah “Aku tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum berubah sendiri”?
Ayah  : Nah! Gimana, Buk, bunyi ayatnya?
Ibu     : (Ibu menyebutkan ayatnya dengan dibantu Ayah sedikit-sedikit)      

             Ayatnya gini.إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Ayah : Ada juga, “Aku adalah apa sangkaan hambaKu” Jadi, terhadap Lauh Mahfuzh itu, kita harus menyangka dan meyakini kalau apa yang Allah tulis di Lauh Mahfuzh adalah sesuatu yang baik dan benar-benar benar. Masa, hanya karena seorang itu bodoh dia berfikir kalau ‘Ah, mungkin takdirku adalah menjadi bodoh’ lalu orang itu menyerah dan tidak berusaha belajar. Kamu mau jadi orang seperti itu yang bahkan gak mau berusaha menuju kebaikan?
Aku   : Nggak!
Ayah : Good, udah jelas, kan?

***

That's all! Sangat-sangat jelas kalau menurutku :D yea, simple question with a simple answer from the best one. Seperti dugaanku di awal, kalau Ayah sudah pernah berfikir mengenai itu adalah benar. Aku sangat menyukai jawaban Ayah atas pertanyaan-pertanyaanku dari pertanyaan yang tidak penting hingga pertanyaan sensitif seperti di atas. Yang tentu saja, pertanyaan dan jawaban di atas adalah satu paket yang tak bakalan aku lupakan. That's too precious to forget, right? Barangkali besok aku ditanya anakku pertanyaan yang serupa, who knows? :p

Oh, Dad! Thanks for always answering my question from I was born until this time. Love you as always!

No comments:

Post a Comment