Aku memasukkan handphone yang sedari tadi kupegang ke dalam saku blazerku. Kemeja tipis putih, plus blazer merah marun, rok hitam selutut menempel pas di badanku. Aku belum sempat mengganti pakaian sehabis dari kantor, langsung menuju tempat ini untuk bertemu teman lama.
If I just can call him, 'teman lama'.
Jam di dinding kedai teh ini menunjukkan pukul lima sore. Semburat jingga terlihat jelas dari dalam jendela kedai. Kurang dua puluh menit lagi, dia datang. Aku menyeruput teh hijau yang tadi kupesan. Hangat, nyaman, membaurkan kenangan lama.
Denting teko keramik para penyaji membuatku tersenyum. Dulu, dulu sekali, aku dan teman lama yang kumaksud ini sering kesini, hanya untuk mendengar indah denting yang terbentuk alami, bersahut-sahutan. Kami bahkan tak jarang mampir, hanya untuk menciptakan suara yang kami berdua sukai itu.
"Mana yang lebih kamu pilih, teh hijau yang sudah dingin, atau teh lemon anget?" Tanyanya.
Aku senyum, lalu pura-pura berpikir, "Teh melati yang sehari penuh di simpan di dalam teko keramik."
Dia menoyor kepalaku, "Yeeeee, gak ada di pilihan kali, Key." Aku nyengir. "Aku pilih pilihan yang kedua kalau gitu. Teh lemon anget."