Thursday, May 8, 2014

Janji Yang Tidak Ditepati [Sebuah Cerpen] #7

Source: here | Edited by me:)
Sudah hampir satu jam aku duduk di kursi ini, dalam kedai teh terkenal kota ini. Tempatku di dekat jendela, tempat kesukaanku. Di sampingku ada pohon maple plastik, indah. Mengalun pelan lagu nostalgia, lupa judulnya. Di kedai luas ini ada berbagai macam orang, mulai dari yang sibuk bercengkrama, menikmati teh dengan makaron, ataupun yang menunggu sepertiku. Ya, aku menunggu seseorang. Seseorang yang teramat penting. Seseorang yang begitu kurindukan. 

Aku sudah mulai letih duduk. Hampir dua cangkir teh habis dalam siang ini. Namun aku akan bertahan. Tetap menunggunya. 

Adalah teman sewaktu sekolah menengah. Aku mengenalnya dari teman-teman yang membicarakannya, entah itu kecantikannya, kemanisannya, kebaikan hatinya, kepintarannya, hingga namanya yang menurutku spesial. Sempurna, katanya. Mana mungkin pula gadis seperti itu mengenalku? Dan saat aku bertemu langsung dengan gadis itu, aku membetulkan kabar angin itu.


Sempurna.

Saat pertama aku melihatnya, kukira ada bidadari yang berevolusi memakai seragam SMA. Namun tidak. Sungguh awalnya aku tak menyangka ada gadis seperti itu di sekolah yang tak terkenal di kota. Wajah berwarna langsat, mata tak bulat tak sipit hitam legam, lesung pipinya begitu sering muncul, serta matanya yang ikut tersenyum saat dia tersenyum. Rambutnya sebahu kecoklatan. Ada satu lagu yang menurutku spesial dari dia, namun dianggap orang lain aneh. Adalah namanya.

Coba tebak, siapa nama gadis yang membuatku meningkari janji untuk naksir orang tidak lebih tidak kurang saat umur tujuh belas (begitulah aku berjanji pada ibuku setelah beliau mengomel tentang nakalnya remaja saat itu, saat aku berumur lima belas)?

“Namaku Purwaningsih, panggil saja Pur.”

Begitulah jawabnya setelah aku dipaksa dengan teman-temanku yang usil untuk berkenalan dengannya. Pur. Kan bisa saja dipanggil Ningsih, atau Asih?

Aku tetap naksir dia meskipun namanya janggal—banyak anak cowok yang mundur mendapatkan si Pur karena tidak tahan karena kejanggalan itu. Bahkan mantan kekasih Pur sewaktu SMP memutuskan hubungan dengan Pur karena tidak tahan diejek teman-temannya. Tapi, Aku malah menganggap nama itu istimewa.

Hingga kami—Pur dan aku—semakin dekat dan saling suka. Mungkin karena kegigihanku, kesetiaanku menyukai Pur. Kedekatanku dengan Pur yang membuatku semakin populer hingga ke kota, ditambah banyak anak cowok yang iri kepadaku.

Aku sebetulnya bingung apa yang membuatnya menyukaiku balik. Aku memang bukan cowok yang narsis atau bagaimana. Pernah suatu saat aku bertanya pada Pur.

“Karena kau adalah kau, Ndre.” Begitu jawabnya. Singkat.
“Bukan karena aku tidak seperti cowok-cowok seperti mereka—yang merasa aneh dengan namamu?” Tanyaku lagi membuat wajah Pur saat itu berubah. Aku takut dia tersinggung. Namun untunglah dia tertawa kemudian lalu menggeleng.
“Buktinya, aku bisa suka sama mantanku yang begitu benci sama aku karena namaku. Kita nggak akan tahu kapan dan karena apa kita bisa jatuh hati, Andre.”

Saat itulah pertama kali aku dan Pur membicarakan cinta, saat usia enam belas—setahun lebih dini dari janjiku dulu. Dilanjutkan pembicaraan-pembicaraan manis. Saat itu pula, kami bisa dibilang ‘jadian’. Jadian dengan cewek unik satu ini!

Dan saat usiaku tujuh belas, Pur meninggalkanku.

Kami masih sama-sama duduk di kelas sebelas, dan Pur memutuskan pindah. Aku saja mendengar kabar itu dari teman-teman yang lain. Tidak dari mulutnya sendiri.

“Kenapa, Pur? Kenapa harus pindah? Kenapa pula tak beritahu aku dulu?” Seperti itulah aku memberondong Pur.
“Maafkan aku, Ndre. Ini keputusanku dan juga keluargaku. Kami memutuskan pindah karena—“ Kalimatnya terpotong.
“Karena?”
“Karena kakakku butuh berobat di Surabaya.”

Pur pernah cerita, kakaknya mengidap suatu penyakit yang susah disembuhkan—aku lupa, susah pula menyebutnya. Dan di kota kecil seperti kotaku tentulah alat medis sungguh terbatas.

“Tak bisakah kau tinggal, Pur? Hanya tersisa beberapa bulan sebelum kita lulus.” Pintaku. Tentu saja, aku tak pantas memintanya untuk tinggal. Kakaknya tentu lebih berharga. Aku hanya dapat menelan ludah getir.
Lalu Pur tersenyum kepadaku, “tapi aku berjanji akan menemuimu lagi. Setia. Hanya kamu, Andre. Surabaya memang tidak dekat, namun kita pasti dapat melalui semuanya. Aku berjanji, kita akan baik-baik saja.” Itulah janji yang ia ucapkan dengan susah payah menahan air mata.

Aku hanya mengangguk. Karena hanya itu yang kubisa.

Keesokan harinya, dan hari-hari berikutnya, termasuk sekarang ini aku belum bertemu lagi dengan rupa cantiknya.

Ini cangkir ketiga. Secangkir black tea yang tinggal separuh. Aku akan terus menunggunya, menunggu Pur. Sebelumnya Pur yang mengajakku bertemu melalui telfon (itu merupakan telfonnya untuk yang pertama), di kota ini. Aku tanpa ba-bi-bu langsung mengiyakan, tak peduli aku saat itu sedang berada di luar kota.

Black tea-ku kini tinggal ampas tehnya. Aku jenuh. Di luar hujan. Tetes-tetes hujan menempel di kaca depanku. Tiba-tiba perhatianku teralihkan pada mobil yang dengan gesit terparkir di luar. Sedan putih. Payung merah muncul dengan cepat dari balik pintu mobil. Disusul perempuan berbaju batik merah muda seperti pegawai bank. Wajah perempuan itu begitu sendu—tunggu. Itu Pur! Sosok yang begitu kutunggu. Dia tidak banyak berubah, masih begitu cantik namun terlihat lebih dewasa.

Aku ingin berlari menuju Pur tapi aku urung entah mengapa.

Pur lalu bergerak ke samping, membukakan pintu. Keluarlah gadis mungil dengan kepang dua. Begitu mirip dengan Pur. Pur menggandeng tangan anak itu menuju kedai. Payung merah yang ia pegang tergeletak di pinggir pintu masuk kedai. Tanpa mencari lebih dulu, Pur langsung dapat menemukanku.

Aku sudah hendak memeluk Pur untuk melepas kerinduan, namun Pur seakan mencegahku dengan mengulurkan tangannya.

“Apa kabar?” Sapanya. Lalu perhatiannya teralih pada gadis mungil, “salim dulu sama om.” Perintah Pur. Gadis mungil itu meraih tanganku lalu menempelkannya punggung tanganku ke pipinya.
“Sireen." Ucap gadis mungil itu.
Aku menatap Pur penuh tanya. Siapa gadis mungil itu?
“Dia anakku, Ndre.”

*
Itulah kisahku tentang janji. Tentang gadis yang membuatku tak menepati janji pertamaku, gadis yang sama, yang tidak menepati janjinya.
Itulah kisah tentang janji. Janji yang tidak ditepati.

-FIN-

2 comments:

  1. orang pertamanya cowok ya... bisa juga nih hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, sp orang pertama cowok. Terimakasih sudah berkunjung

      Delete