Sunday, May 25, 2014

Mata Kirana [Sebuah Cerpen] #8

Source: here | Edited by me:)
Seumur hidup, Gilang tak pernah merasa sebodoh ini—menghabiskan waktu menatap seseorang gadis dari balik jendela kamarnya, Kirana. Gadis itu lebih muda lima tahun darinya, sekarang dalam tahap pengerjaan skripsi. Kamar Gilang berseberangan dengan kamar Kirana. Jadi dia dapat leluasa memperhatikan gerak-gerik Kirana lalu menorehkan apa yang ia lihat di atas kanvas putih. Melukis wajah cantik Kirana setiap hari. 

Dalam satu tahun, Gilang menghasilkan lukisan berobjekkan Kirana. Entah itu Kirana yang sedang menulis, membaca buku, menghadap laptop meneruskan skripsi. Semua yang kirana lakukan di hadapan jendela. Anehnya, kelima belas lukisan Gilang itu tanpa mata.

Bagi Gilang—seorang pelukis jalanan yang andal, bagian tersulit dari melukis Kirana adalah mata Kirana. Bukan, bukan karena mata mencerminkan hati seseorang. Bukan karena mata memberikan nyawa pada lukisan. Namun karena, mata Kirana adalah mata Serena. 

Serena, cinta pertama Gilang, kakak kandung Kirana. 

Serena telah pergi karena penyakit yang tak terdeteksi oleh medis. Saat itu, Gilang berusia tujuh belas. Ditinggal tetangga, sahabat, sekaligus cinta pertamanya sejak ia berusia tujuh membuatnya tak punya semangat hidup. Gilang pun memutuskan untuk tak melanjutkan sekolah. Namun ibunya yang khawatir tentang masa depan Gilang memasukkan ke sebuah sanggar. Di sana, masa depan Gilang jelas terbaca.

Jasad Serena boleh saja lenyap, namun sesungguhnya ia masih ada di dunia ini. Adalah matanya. Serena menitipkan matanya kepada adiknya, Kirana yang buta sejak lahir. Jadi Gilang tak pernah merasa ditinggal oleh cinta pertamanya. Serena masih ada di tubuh Kirana. Gilang berjanji akan menjaga Kirana meski nyawa taruhannya. 

Gilang tak berhenti melirik jam dinding. Sudah hampir tengah malam, dari jendelanya, tanda-tanda kepulangan Kirana belum terlihat sejak jam tiga sore. Apa lagi, orang tua Kirana sedang dinas ke luar kota. Mata Gilang memerah, hatinya tak keruan memikirkan kemana perginya Kirana, apa dia baik-baik saja. 

Jarum pendek tepat menunjukkan angka dua, sedan merah berhenti di rumah Kirana.Turunlah gadis itu, lalu melambai ke arah mobil yang meninggalkannya. Secepat kilat, Gilang melesat menuju rumah Kirana. 

“Dari mana saja kamu?” Suara berat Gilang menghentikan gerakan tangan Kirana yang berusaha membuka kunci rumah. Kirana berbalik. Sedikit takut melihat wajah garangnya. 

“Ulang tahun temen, Mas.” Jawabnya. 

“Ulang tahun temen sampai pagi iya?!” 

Kirana menghela napas. “Kenapa sih, Mas? Baru kali ini juga.” 

“Mas ini khawatir sama kamu!” Dalam gelap malam, samar terlihat wajah Gilang merah padam. 

“Kirana sudah gede, Mas! Lagian aku juga nggak minta mas Gilang buat khawatirin aku.” 

“Mas dari dulu sudah janji sama diri sendiri buat jagain kamu, Kirana.” Jawab Gilang. 

“Kenapa?!” Bentak Kirana. 

“Kenapa mas mau jagain aku?” Tanya Kirana lagi. 

Jeda lama. Kirana tersenyum sinis, “Gak bisa jawab kan, Mas?” 

“Kenapa, Mas? Karena ada mata mbak Serena? Iya?!” Gilang tak bisa menyalahkan pertanyaan yang sejatinya pertanyaan itu. Gilang menghela nafas lalu merengkuh Kirana. Kirana awalnya menolak, namun rengkuhan itu terlalu lembut untuk dilawan. Ia mengalah. 

“Di samping itu, kamu itu perempuan, Kirana. Kamu itu permata bagi ayah-ibu kamu, bagi Mas juga.” 

Kirana membenci Gilang. Khususnya disaat Gilang melindunginya. Kirana tahu, alasan Gilang tak lebih karena Serena. Gilang bukan hanya cinta pertama Serena, tapi juga cinta pertama Kirana. Dahulu, saat Gilang pertama kali melindungi Kirana, tepatnya membela Kirana dari anak-anak nakal hingga lebam kena pukul, saat itulah Kirana merasakan cinta pertamanya. Meski pada akhirnya Kirana tahu perlindungan Gilang bukan untuknya. Kirana tetap mencintai Gilang namun dalam diam, demi kakaknya. 

“Mau kemana?” Gilang mendatangi Kirana yang berdiri di pinggir jalan, menanti taksi atau angkutan. 

“Kafe.” Jawab Kirana. 

“Aku anter, naik sini.” 

“Gak sibuk?” Gilang menggeleng. Naiklah Kirana di motornya lalu menuju kafe. Sesampainya di kafe, Kirana heran mengapa Gilang juga ikut ke kafe. Duduk di depannya. 

“Kamu masih nunggu temen kan, sementara aku temenin.” Kirana mangut-mangut. Keduanya lalu sama-sama pesan secangkir espresso. 

“Aku sama dia cuma ketemuan di sini, dia nggak pernah suka kopi.” Lanjut Kirana. 

Hening menelusupi di antara suasana kafe yang ramai. Gilang terus memperhatikan sekeliling kafe sesekali menyeruput kopi namun pantang melihat Kirana. Sedangkan Kirana hanya memainkan handphone, menepis detak jantungnya. 

“Menurut mas, cinta itu apa?” Tanya Kirana kemudian—iseng, sebenarnya, membuat Gilang tersentak. 

“Hmmh..” 

Kirana tersenyum. Ia tahu, orang yang dicintainya itu tak pandai merangkai kata. 

“Kirana tahu kok, cinta itu... Perasaan mas Gilang ke mbak Serena yang tak pernah hilang. Sesederhana itu kan, Mas?” 

Gilang terenyak. Tak bisa menolak. 

“Diam berarti iya.” Kirana tersenyum lagi. Membuat Gilang salah tingkah—Kirana begitu mirip dengan Serena. Wajah tirus langsatnya, bibir tipis merah jambu, hidung idealnya, lesung pipi kirinya, serta mata cokelat Serena yang tersenyum saat ia tersenyum. 

“Kamu sebenarnya mau ketemu siapa?” Tanya Gilang mengalihkan. Terbesit keinginan Kirana untuk mengetes Gilang. 

“Demas. Calon pacar.” 

“Oh.” 

“Temen SMA kamu?” Kirana mengangguk. 

Hanya itu, dan Kirana kecewa. Hanya itu? 

Namun sebetulnya kekhawatiran Gilang tersirat dalam diam. 

“Tuh orangnya, aku pergi dulu ya, Mas. Makasih sudah dianter.” Gilang mengangguk-angguk. Pandangannya tak lepas dari sosok bernama Demas itu hingga mereka menghilang bersama sebuah motor matic. 

Sudah hampir larut, Gilang beranjak di tempat semula setelah menghabiskan waktu melukis suasana kafe. Ia memutuskan untuk mampir di supermarket. Tiba-tiba handphonenya bergetar. 

Kirana memanggil. 

Kening Gilang bertaut, Kirana jarang sekali menelfon. 

“Halo, ada apa—“ 

“Mas...” Dari seberang terdengar suara lemah Kirana bersama isakan tangis. Seumur-umur Gilang tidak pernah melihat Kirana menangis sejak ia dapat melihat. Kirana berjanji tak akan pernah meneteskan air mata dari mata kakaknya. Namun kali ini, Gilang yakin sekali Kirana menangis. 

“Kirana? Kirana, kamu kenapa? Ada apa? Lagi di mana?!” Kecemasan Gilang sudah sampai di ubun-ubun. Dia menjatuhkan belanjaannya lalu berlari menstarter motor. 

“Demas, Mas.... Demas—“ Kirana masih menangis. 

“Diapain kamu sama si Demas? Kamu di mana?!” 

“.... Ru-mah.” 

Sesampainya di rumah Kirana, Gilang menemukan Kirana memeluk lutut bersandar di samping kasur. Matanya merah, namun sudah tidak menangis mungkin karena air matanya mengering, begitu lemah. Tanpa jawaban Kirana, Gilang sudah mengerti apa yang menimpanya. Sesuatu yang membuat sosok Kirana menangis, serta melanggar janjinya sendiri. 

Dua minggu sejak kejadian itu, Kirana mengurung diri di kamar seperti tak punya semangat hidup. Gilang senantiasa berada di samping Karina, menunggunya, melukisnya, merengkuhnya dan merawatnya dengan sepenuh hati.

Hari ke lima belas, Kirana sudah bisa tersenyum saat Gilang melontarkan lelucon ringan. Juga mulai menimpali obrolan Gilang yang sebelumnya hanyalah sebuah monolog. 

“Kamu masih mau di rumah? Nggak mau melihat indahnya alam sekitar?” Goda Gilang. 

Kirana menggeleng. “Masih belum, Mas. Dunia luar itu ternyata jahat.” 

“Mas....” 

“Di saat keadaan aku seperti ini, siapa yang mas khawatirkan? Aku atau mbak Serena?” 

“Kamu.” 

“Bohong.” 

“Ngapain juga mas bohong kalau saat tahu kamu nangis, mas seperti kesetanan. Kan yang nangis kamu, bukan mbak Serena...” 

“Maafkan mas, Kirana. Ternyata perasaan mas kepada Serena berpindah kepadamu. Itu semua terjadi begitu saja.”

Kirana terenyak. 

Hening. 

“Seandainya saja, mata ini mata Kirana sendiri. Aku bisa saja memilih untuk bahagia di samping mas, menghabiskan hidup yang singkat ini. Tapi aku pun nggak mau menjalani hidup dengan gumpalan rasa bersalah yang kian hari kian membesar.” 

“Mas tahu...” Dibelainya rambut Kirana dengan halus. Lalu disekanya sungai kecil di kedua pipi Kirana yang masih bersusah payah mengucap kata. 

“Selamanya pun, mata Kirana nggak pernah ada.” 

-FIN”

4 comments:

  1. Jerr keren banget'-' but idk why rada ngehe pas baca kata kata 'mas' . Kenapa gak kakak aja? Aku suka banget ceritanya. Gabisa bikin yang bahasanya ringan tapi puitis kek gini AAAA :<

    ReplyDelete
  2. Wih, makasih udah mampirr. Hehe, suka aja pake mas kalo 'kak' ntar terlalu kaku. Makasih banyak masukannya, sama-sama belajar :)

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  4. Hehe iyaa'-')/ btw bisa bikin tutor cara nambah widget cerpen, journal, home etc gitu ga? Aku bingung banget pas masui dashbor blog gitu so ya gitudeh butuh tutor :3

    ReplyDelete