Monday, May 5, 2014

Kenyataan Semu [Sebuah Cerpen] #6

Source: here | Edited by me :)
Aku tak mengerti.

Apa yang ada dalam fikirannya?
Meski tak bisa dijelaskan secara gamblang, tapi.... Tapi, tak bisakah mengerti?
Bahasa kerennya sih, tak peka.

Jujur saja, dua bulan terakhir ada seseorang yang (katanya) menyukaiku, Danar. Dia begitu tampan. Wajahnya teduh menyejukkan, apalagi mata cokelatnya. Meleleh bila menatapnya lama-lama. Dia tidak putih, sawo matang tipikal orang Indonesia. Hidungnya standar, tidak mancung juga tidak pesek. Senyumnya....indescripable, sweet! Kalian tak bertanya bagaimana aku? Aku  gadis biasa yang magang di perpustakaan mantan kampusku, di universitas terkenal kotaku. Aku lulusan perbukuan di universitas itu pula. Dia, yang menyukaiku, juga anak magang. Bedanya dia magang di rumah sakit universitas. Faktanya lagi, dia temanku saat SMA. Namun aku tak begitu mempedulikannya, masa bodo!

Bagaimana rasanya disukai orang yang begitu populer? 
Confusing.

Ya, dia begitu populer. Mulai dari kantin kampus hingga ujung perpustakaan ini pasti menoleh dan memperhatikan dia. Sampai-sampai aku kebawa populer. 

Entah apa yang kurasakan. Ada perasaan suka (siapa yang tidak suka dengannya, coba!) namun ada perasaan yang ganjal. Entahlah, apa itu perasaan takut kebawa populer, takut banyak pembenci, takut.... takut saja. 

Awalnya aku benar-benar masa bodo. Saat pertama kali dibilangi sahabatku,
"Denia, ada berita ajaib! Itu.... Danar suka sama elu."
Aku hanya merespon acuh tak acuh. Danar siapa! Mas Danar penjaga kantin? Dan seketika Rissa menjitakku. Mataku benar-benar melebar saat tahu Danar siapa yang dimaksud.

Dan saat ini, tak bisa dipungkiri seorang Denia suka sama Danar. Terbukti, aku tak mengerti.
*

Tadi malam aku dengan mata kepalaku sendiri melihat Danar duduk di bangku sekitar air mancur dekat perpustakaan. Anehnya, Danar bersama seorang cewek! Cemburu? Mungkin saja. Yang lebih menyebalkannya lagi, kata Rissa cewek itu mantan kekasihnya Danar. Sebelumnya tak pernah seperti ini. Sungguh. Apalagi saat aku memahami sifat Danar dari sohib-sohibnya. Termasuk fakta bahwa Danar akan berusaha dengan cara apapun untuk mendapatkan apa yang dia ingin.

Bukankah yang dia inginkan adalah aku?
Hffft.
Aku tak tahu, ya kapan tepatnya aku menyukai Danar. Benar-benar kutipan kita tidak akan pernah memprediksikan kita jatuh cinta itu nyata! Tapi sepertinya, aku harus membuat catatan memori. Dan hasilnya adalah, tiga minggu yang lalu. Saat aku ada shift jaga perpus malam (malam itu hujan deras), Danar saat itu  yang basah kuyup menghampiriku yang sedang menyortir buku-buku. Saat kutanya mengapa, Danar hanya menjawab dengan ringan, "aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja, Denia." Selanjutnya, kalimat itu selalu terngiang, selalu. Dan  sepersekian detik setelah kalimat itu keluar dari mulut Danar, aku mutlak jatuh cinta kepada cowok slengekan tapi keren itu.

Klise?

Oke, kisah ini akan lebih klise lagi saat kalian membaca kisahku dan Danar setelah tadi malam.

Mereka berdua nyatanya tidak sekadar duduk di bangku taman, tapi mereka melakukan.... ah! Ini dia bagian tersulit. Beberapa hari lalu pun aku serta Rissa kerap melihat Danar bersama cewek itu. Oh Tuhan. Danar benar-benar melukaiku di saat aku perlahan menerimanya. Lama aku memperhatikan mereka dari jendela perpustakaan. Danar sungguh membuatku tak mengerti. Jadi, fakta dari sohib Danar itu cuma omong kosong. Setelah aku merasa begitu panas dan air mataku sempurna mau kabur, dengan gemetaran aku menelfon Danar. Lalu aku melihat dari balik jendela Danar menjauh dari mantan sialan itu. Aku bertanya dengan dingin, sedang apa dia. Dia menjawab dengan basa-basi dulu (tak seperti biasa, biasanya dia selalu tepat sasaran, pas, bahasa kerennya cuek). Dalam tak lebih 5 menit di telefon, kami membuat janji. Ketemuan di kafe biasa, jam sembilan pagi tak kurang tak lebih.

Di sinilah aku, menunggu Danar di kafe favorit kami berdua. Bukan, Danar tidak telat, Danar bahkan takkan pernah telat. Aku saja yang datang terlalu dini. Di sampingku telah ada americano yang kian mendingin. Hingga munculah Danar dengan wajah ceria, dia memakai kaus putih pemberianku dan celana semi-jeans biru. Simpel, namun aku yakin tak sesimpel itu apa yang ada di balik penampilannya. 
"Kok udah sampai, padahal janjiannya tak kurang tak lebih?" Godanya. Aku tersenyum (terpaksa). Kemudian Danar memesan secangkir affogato, kesukaannya. 
"Tumben, Dania."
"Kenapa?" 
"Tumben cemberut aja. Kamu sehat kan? Kamu baik-baik saja?" Tanyanya, begitu polos.
"I'm okay." Jawabku sedikit parau, mengingat kejadian semalam. Ya jelas aku tidak baik-baik saja! 
"Kalau gitu, ceria, dong!" Danar mencoba menarik kedua ujung bibirku membentuk senyuman. Aku risih. Langsung menyungkirkan tangannya. Setelah itu, keadaan menjadi canggung. Ini tidak boleh dibiarkan canggung. Maksud ketemuan ini kan, agar semuanya jelas.

"Kamu tumben tampil sederhana. Lagi nggak ketemu sama mantan kamu itu? Ah, kamu kan bagaimanapun selalu terlihat ganteng." Aku mencoba menyinggung, sedikit.
"Maksud kamu?" Dahinya mengernyit.
"Bercanda," Tukasku. 
"Kamu tak pernah sekalipun terlihat jelek, santai aja." Tambahku.
"Nggak, bukan itu. Maksudmu apa?"
"Bercanda..." Jawabku. Sungguh aku ingin mengatakan yang sebenarnya. Tapi tak sanggup! Setiap kali sudah mau diucap malah tertelan lagi. Jadilah, aku hanya mengedarkan pandangan ke penjuru kafe alih-alih menatap matanya yang kian mengejar. 
Kafe favoritku tak seperti biasanya. Lebih ramai. Kebetulan di luar hujan. Untunglah, sedikit bisa meredam panas di hati. 

Sunyi.
Aku diam tanpa kata, begitupun Danar. Setidaknya, Danar tahu kemana aku membawa arah pembicaraan. Bukannya aku ingin berdiam diri seperti ini, begitu banyak yang ingin kutanyakan, kuungkapkan, padanya. Mulai dari hal kecil; sudah makan? berangkat sudah mandi, kan? kamu bawa payung? hingga hal yang membuat selera makanku hilang; sebenarnya apa hubunganmu dengan mantan sialanmu itu?
Sayangnya, semua itu hanya di ujung bibir. Tak terucap.

Jadilah, wajahku semakin pucat akan emosi yang terpendam.

"Kamu baik-baik saja? Aku antar kamu pulang?" Tanyanya dengan nada khawatir. Entah itu benar-benar khawatir atau akting. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.
"Aku baik-baik saja." Jawabku. 

"Sebenarnya kita itu apa sih, Danar?" Tanyaku, dingin.
"Apa?"
"Pacar enggak, teman enggak, sahabat juga enggak."
"Lho, kita itu teman. Kamu nggak ngakuin itu?" Danar sedikit tertawa dipaksakan. Aku berpaling, menghela nafas panjang.
"Kamu mau tahu jawabannya? Aku itu orang yang mengaguimu, Denia. Teramat mengagumimu." 
Aku tertawa sumbang.
"Oke, kamu mengagumi aku. Lantas bagaimana dengan mantan sialanmu itu, hah?" Akhirnya...

Wajah Danar memerah, dia terlihat gelagapan mencari jawaban. Betul kan. Ada apa-apanya.
"Tuh kan! Kamu gak bisa jawab, Danar!" Aku meninggikan suara. Orang-orang menoleh ke arah kami, peduli amat!
"Ng.. nggak ada apanya. Dia cuma mantan, ya mantan!" Jawabnya.
Cih!
"Jujur, Danar! Tolong, jujur!" Pintaku, terdengar akan desakan. 

Lama.
Matanya kemana-mana. Hendak menjelaskan, namun terlihat takut-takut. 
"Aku suka dia, Denia." Jawab Danar. Seketika membuat hatiku teremas. Aku tertawa miris, bahkan air mataku tinggal jatuhnya.
"Sudah kuduga, kamu suka LAGI sama dia." Kataku, kemudian tertawa getir. Aku kemudian berdiri hendak pergi dari kafe sialan ini. Namun Danar menahan tanganku. Tolonglah, Tuhan. Aku sudah tak sanggup lagi melihat wajah itu!
"Enyahlah dari hadapanku, Dan! Jangan pernah muncul lagi di kehidupanku--" Kalimatku terpotong.
"Tunggu, Denia." Aku buru-buru menepisnya, namun cengkramannya begitu kuat.
"Tapi ada satu hal yang kamu harus tahu, Denia. Boleh saja aku menyukai Sheva lagi. Namun aku mencintaimu, Denia. Teramat mencintaimu."
Aku lagi-lagi tertawa miris.
"AKU NGGAK PEDULI, DANAR!" Aku membanting tangannya, lepas. Cengkramannya lepas. Aku buru-buru keluar dari kafe itu. Air mataku sempurna menjadi sungai di pipiku. Aku merasakan Danar mengikutiku. 

"Denia, kamu boleh saja marah sama aku. Tapi biar aku antar kamu ke rumah," Rajuknya. Aku berbalik, menghujam dadanya, menangis di dadanya, "Tinggalin aku sendiri, Danar!"
*

Beberapa tahun berlalu, sejak kejadian suram di kafe bersama seseorang bernama Danar itu (ceritanya, aku menghapus Danar dari ingatanku namun tetap tidak bisa, aku malah semakin tersiksa).
Kini umurku dua puluh lima. Aku sudah bekerja di penerbit sebagai editor. Yup, editor. Editor fiksi. Aku dulu sempat bertanya-tanya ngapain harus magang di perpustakaan, itu kan membuatku bertemu dan kenal dengan Danar.

Kala itu, aku memutuskan berhenti magang di perpustakaan. Menghindar dari Danar. Sejak saat itupun aku tak bertemu dengan Danar.

Namun rasanya seperti deja vu. Aku seperti merasakan hangatnya Danar.
Ternyata, oh ternyata, 

Aku membaca, memilih dan memproses naskah, anehnya, ya itu, aku merasakan deja vu.
Judul naskahnya Dan Semua Semu. 
Aku benar-benar menjadi editor yang bodoh saat membaca naskah itu. Nangis, tertawa, tersinggung, bingung saat membacanya. Hingga aku berpikir penulisnya adalah Danar. Mengingat Danar dulu ingin menerbitkan sebuah novel fiksi. 

Bukan. Bukan Danar. Penulisnya bernama Kartika eh, Kartisa, atau siapalah! 

Hingga sampai di halaman terakhir naskah yang membalik kehidupanku. Sepucuk surat yang ditulis tokoh utama buku ini kepada orang yang dikasihinya.

Bogor, 10 Juni 2009

Sayang, aku tahu kamu begitu membenciku
Tapi izinkan aku menulis sesuatu untukmu
Karena tanganku tak akan bisa berhenti menuliskan
Karena aku terpuruk sendiri, dingin mencekat

Aku belajar hal-hal ini darimu bila;
Selalu ada kebenaran dalam canda
Selalu ada sedikit emosi dalam kalimat ku tak peduli
Selalu ada sedikit rasa sakit dalam baik-baik saja
Selalu ada sedikit aku-rindu-kamu dalam tinggalkan-ku-sendiri
Dan, ada banyak kata di balik keheningan

Sayang, aku merindukanmu
Dan tak ada rasaku seterpuruk tanpa dirimu
Dan saat semua orang tak mengerti tentang kita
Dangkal, indah, kita telah berusaha

*

Dan, sepersekian detik setelah membaca halaman terakhir naskah klien, aku memutuskan mencari Danar.

Dangkal, memang.
Tapi setidaknya aku berusaha.

-FIN-

No comments:

Post a Comment