Tuesday, April 8, 2014

Bayangan Hari [Sebuah Cerpen] #3

Source: here | Edited by me :)
Kulihat mata kekasihku, begitu sembap. Lalu kuusap rambutnya dan kupegang bahunya untuk menguatkan. Kami telah bertunangan dua bulan lalu, namun dua bulan kemudian ia mendapat kabar bahwa sahabat karibnya, Lea, dirawat di rumah sakit, di sini. Rissa baik-baik saja, buktinya senyumnya sedari tadi belum lenyap, namun aku sangat yakin hatinya tidak baik-baik saja. 

Rissa memasukkan bunga-bunga yang tadi kami beli ke dalam vas air lalu meletakkannya kemudian mengelus rambut Lea yang sedang tidur terbaring. Rissa dan Lea adalah sahabat karib, mereka merupakan teman sejak SMP—temenku juga, sih. Rissa kemudian duduk di sebelah Lea, menggenggam tangan Lea begitu erat sesekali ia memutar cincin tunangan kami—kebiasaannya. 

“Kamu pulang aja, Ngga... Aku nggak apa-apa.” Ucapnya.

Aku menimbang-nimbang, sebetulnya tidak masalah, sih. Namun rasanya mereka perlu waktu untuk ‘bicara’. 


“Oke, aku ada di depan.” Aku melangkah menuju kursi agak jauh dari mereka berdua. Namun sepertinya aku masih bisa mendengar apa yang kekasihku ucap. 

“Apa kabar, Lel?” Tanya Rissa setelah hening yang panjang. Kulihat Rissa tersenyum dan masih menggenggam tangan Lea. Tunggu, ‘Lel’? Sejak kapan Rissa panggil Lea ‘Lel’? Ah, mungkin salah denger.

“Kamu jangan jawab ya, ntar kondisi kamu memburuk. Cukup senyum seperti sekarang aja. Oke?” Suara Rissa memelan, namun aku masih bisa mendengarnya—bukan maksud menguping.

“Hihi, jangan keras-keras ngangguknya, ntar sakit.” Dia berubah ceria namun suaranya terlihat serak, ya Tuhan, dia menangis! Rissa itu orang terkuat yang pernah kukenal, sejak SMP jarang sekali lihat dia menangis, menangisiku aja sepertinya dia tidak pernah. Melihat Rissa begitu rapuh, aku jadi ingin menariknya dalam dekapan. Tak ingin melihatnya terus menangis seperti ini.

“Kamu denger, Ngga?”

“Hmm..” Aku menunduk, untung dari tadi pake earphone—hanya pake. 

“Rangga?”

Aku berdiri, mencopot earphone dan memasang raut muka terpanggil, “Ya? Mau pulang?”

Rissa menggeleng, “Kirain denger.” 

***

“Hai, Lel? Masih the same, me, nih!” Ucap Rissa riang memasuki kamar Lea, kuikuti dia. Aku dengan senang hati menawarkan diri untuk mengantarkannya, seperti hari-hari yang telah lalu. Kali ini kami membawa roti bakar kesukaan Lea. Agak berlebihan sih, kurasa. Ah, mungkin mereka hanya ingin bernostalgia. 

“Ris, Rissa?” Panggilku, dia sedang asyik mengiris roti bakar,

“Hmmmh?”

“Kenapa manggil Lea ‘Lel’?” Tanyaku, kurasa hanya salah dengar namun gak mungkin, dong, yang tadi juga salah denger.

Rissa meringis, “Pengen nostalgia aja..” Jawabnya ringan.

Oh.

Semacam nama lain seperti Leli atau Lela? Namanya juga sahabat.

“Rissa, besok ke sini jam berapa?” 

Rissa menengok ke arahku, bibirnya menguncup, terlihat memikir. Itulah reaksi Rissa yang paling kusuka. Intermeso sedikit, aku benar-benar mencintai Rissa. Pertemuan pertamaku dengannya saat dia pindah rumah saat aku berumur kira-kira 8 tahun, dia bersama tetanggaku yang seumuran, mereka meneriakiku dan melempari batu saat aku sedang mengamati senja dari pohon jambu. Dua tahun kemudian aku pindah karena bisnis ayah. Dan saat aku SMP kelas 8 aku baru sadar kalau teman sekelasku yang bernama Marissa Setyarani itu tetanggaku dulu, dia sudah bersahabat dengan Lea meski aku saat itu tidak akrab dengannya. Lalu aku mulai tertarik dengan Rissa yang mulai memasuki kehidupanku lagi. 

“Jam 11, deh. Kamu nggak bisa nganter enggak masalah, kok.” Aku menangguk. Aku ingin menyelesaikan beberapa urusan. 

“Aaaa buka mulutmu... Leaa... This is it, roti bakar kesukaan kamu.” 

Aku menghela nafas panjang mendengarnya. 

Dan Lea jelas-jelas menolaknya.

“Ayo, aku jauh-jauh beli ini di langganan kamu, buka mulutmu..” Dia masih, masih dan masih berusaha. 

“Rissa—“ Tegurku.

“Lea, pliiiss, satu suapan saja.”

Aku berlari menuju Rissa yang mulai hilang kontrol, meraihnya bahunya yang rapuh, “Rissa, berhenti.” Kubelai rambutnya yang halus, dan menenangkannya. 

“Berhenti, kamu harus berhenti. Lea capek, Ris. Sadar, ikhlas—“

“APANYA?!” Rissa membentak, air matanya luruh. Aku terenyak. 

Rissa menghujam dadaku dengan pukulan, “Kamu minta aku berhenti buat apa? Buat apa?! HAHH?!” Ia berteriak tepat di depan mukaku. Matanya merah, wajahnya pucat, bibirnya keunguan. Tapi aku membiarkannya memukuliku, sakit, tapi tak ada yang lebih sakit daripada melihatnya sakit berkepanjangan.

“Lea butuh ketenangan, Rissa. Dia butuh... Sahabat yang mengerti dirinya.” 

*** 

Tepat satu jam sebelum Rissa ke kamar Lea, aku mendatangi Lea dengan membawa gitar kukalungkan di punggung. 

Kulihat Lea terbaring dan terpejam, senyum tipis tersungging di bibirnya. Aku melangkah masuk. Terdengar dengung AC dalam ruangan selebihnya senyap. Aku duduk di kursi sebelah kiri. 

“Halo, Lea...”

Lea masih bergeming namun aku yakin dia mendengar. Sekilas aku melihat dia mengangguk.

“Aku kesini karena mau mengucapkan terimakasih buat apa aja. Mulai dari kamu udah jadi temanku, hingga jadi sohib si Rissa yang ngeselin. Aku tahu, setelah orang tua kamu meninggal, hanya Rissa orang yang berharga di hidupmu. Karena aku gak bisa ngasih banyak saat kamu masih sehat—daripada tidak sama sekali—aku pengen kamu denger aku nyanyi lagu ini, lagu yang sepanjang hari dinyanyikan sama Rissa—kecuali saat di depanmu,”

I close both locks below the window
I close both blinds and turn away
Sometimes solutions aren't so simple
Sometimes goodbye's the only way

And the sun will set for you, 
And the shadow of the day
Will embrace the world in grey
And the sun will set for you...


“Mungkin, satu-satunya hal yang membuatmu bertahan adalah Rissa, meskipun dirimu sudah ingin untuk pergi—“ 

“Rangga—“ 

Aku segera menoleh, Rissa berlari ke arahku dan segera memelukku. Seketika ia menangis dalam pelukanku. Aku hanya bisa mengelus punggungnya dengan lembut. 

***

Pemakaman berjalan dengan khidmat. Seluruh pengantar telah kembali dengan—semoga—ikhlas. Kini tinggal Rissa dan diriku. Rissa bersimpuh di tanah, tangan kanannya memegangi batu nisan, tangan kirinya mengelus-elus gundukan. Air matanya muncul satu-persatu dari persembunyian—kaca mata super hitam.

Ikhlaslah, Rissa-ku sayang...

Aku berada tepat di depannya. Namun aku tak bisa menembus ke dalam matanya, gara-gara kaca mata hitam sialan itu. Dengan mataku yang teduh, paling tidak Rissa bisa sedikit merasa lebih baik. 

Hingga akhirnya Rissa berdiri, akhirnya. 

Dia melangkah begitu berat, aku berdiri lalu mengikutinya—setelah melempar beberapa genggam tanah ke gundukan. Aku hanya mengikutinya dari jauh. Namun jalannya begitu sempoyongan, aku takut dia nanti pingsan—

Selembar kertas putih jatuh.

Aku berlari mendekat, siapa tahu itu penting. Kuraih kertas itu dari tanah, kulihat dua gadis kecil—satu berambut sebahu dan satunya lagi berkepang kuda. Keduanya memamerkan gigi mereka yang ompong. Yang berambut sebahu begitu mirip dengan Rissa dan aku yakin memang Rissa. Sedangkan yang disebelahnya... Sepertinya aku familiar. Siapa ya?

Di balik kertas itu tertulis “Rissah n’ Lelet’

Deg!

Lelet?!

Aku segera berlari balik menuju makam Lea. Rasanya seperti jatuh ke dalam jurang mengetahui foto itu.

Lelet, di dalam gundukan ini bersemayam Lelet. Tetanggaku sejak kecil, teman main Rissa. Bodohnya aku tak berfikir hingga situ, bahwa Rissa dan Lelet berteman sejak berumur 8. Mereka adalah dua gadis yang begitu kubenci dulu karena keisengan mereka.

Aku membekap mulutku, kurasakan bahuku berguncang. Gantian diriku yang menyentuh tanah dan memegang nisan putih. 

Selamat tinggal, kamu.... Cinta pertamaku.

***

“Heh, Do!”

“Oi, colek-colek aja. Apaan?”

“Aku mau cerita tapi kamu jangan bilang sapa-sapa, ya?”

“He-eh.”

“Janji dulu!”

“JANJI, DAH! Cepetan dong, Semut Rangrang! Jangan bikin penasaran.”

“Aku... Mmmm suka sama salah satu dari dua tengil itu!”

“Beneraaan? Siapa? Pasti sama si Rissa soalnya dia cantik kayak berbi, ya?”

“Nggh, nggak. Suka sama Lelet!”

“Hahahaha. Kok malah Lelet, sih? Dia kan lelet?”

“Soalnya...”

“Soalnya!?”

“Soalnya, kemarin waktu aku nangis gara-gara dimarahin sama mamah, dia hapus air mata aku.”

-FIN-

2 comments: