Saturday, April 5, 2014

Rahasia [Sebuah Cerpen] #1


Source: here | Edited by me :) 
Lelaki itu hanya bisa menatap lekat-lekat punggung gadis yang duduk membelakanginya. Edyta, gadis yang meluangkan waktu sore untuk sekadar secangkir teh di kafe tanpa nama sembari menatap semburat oranye senja yang indah. Gadis cantik itu telah mencuri hatinya yang hampir terkatup. Sudah ratusan hari ia lewatkan hanya untuk memandangi gadis yang rutin datang ke kafe tanpa nama ini dari belakang—dalam diam. Sebut saja Bagas, lelaki yang hampir bunuh diri setahun lalu karena kehilangan sosok yang ia kasihi. Ia berpikir cinta itu omong kosong dan ia bersumpah, tak akan jatuh cinta lagi. Namun gadis cantik berlesung pipi dan rambut hitam keunguan sebahu lebih itu berhasil membobol hatinya yang keras tanpa kata sejak pertemuan pertama.

Saat itu, di dalam lift sebuah apartemen untuk memberikan satu-satunya warisan ibu yang barusaja meninggal—cincin—kepada adiknya, masuklah gadis cantik berkacamata hitam yang belum ia kenal dan tak ingin ia kenal. Hening dalam lift namun ada suatu rasa yang mengganjal. Mengatasi keganjalan itu, Bagas memainkan cincin yang semula ia genggam. Tiba-tiba muncul getaran sepersekian detik yang mampu membuat jantungnya hampir copot—cincin itu terlempar dari tangannya dan menggelinding menuju celah lift. Rasanya Bagas ingin mati saja, satu-satunya peninggalan ibu malah jatuh dan sedetik kemudian pasti hancur tergilas mesin—seolah mimpi, cincin itu kini berada tepat di depan matanya entah bagaimana bisa. Sejak detik itu Bagas jatuh hati dengan gadis yang menyelamatkan warisan ibu. Dan gadis itu Edyta. Semenjak saat itu pun, setiap kali Edyta akan mengalami hal yang buruk Bagas akan menyelamatkan. Seolah ter-setting menjadi sosok guardian angel. Dimana Edyta dalam bahaya, disitu ada Bagas yang siap menyelamatkan. 

Dan Bagas hanya ingin memendam perasaannya layaknya rahasia, karena Edyta terlalu sempurna untuknya.

*

Seperti hari yang telah lalu, Edyta duduk di kursi favoritnya di kafe ini—kursi yang menghadap senja. Hanya menatap senja dengan sesekali menyesap teh hangatnya. Terkadang, ia merasakan sesuatu menelusup hatinya, sesuatu yang hangat—sepertinya cinta. Entahlah, gadis itu terlalu idealis untuk memikirkan cinta, terlalu idealis untuk menengok kebelakang. Padahal sesungguhnya, di belakangnya ada..... Ah, sudahlah. Kafe tanpa nama sore ini cukup sepi, hanya ada dua-tiga pengunjung serta lantunan lagu melow.

Edyta berkali-kali menggenggam tangannya dengan resah, tak seperti biasanya hatinya berdebar begitu kencang. Setiap mendengar hembusan napas dari belakang, setiap mendengar samarnya gerakan dari belakang, dan setiap merasakan ‘rasa’ yang tak biasa dari belakang. Edyta sadar, ada ‘sesuatu’ di belakang punggungnya. ‘Sesuatu’ yang memiliki perasaan yang mendalam kepadanya—sosok yang amat mencintanya, sosok yang pastinya adalah malaikat penolongnya selama ini. Sudah lama ia ingin sekali menoleh agar mengetahui siapa sosok itu, namun hatinya selalu melarang. Seolah meneriakkan bila-kamu-menengok-segalanya-akan-berubah. 

Dari lubuk hati yang paling dalam, ia merasa ingin merasakan perasaan hangat nan misterius setiap hari. Namun ia rasa, ia perlu sebuah kepastian meski harus mengubah sedikit dari ‘segalanya’.

“Apa maumu?” Ucap Edyta lirih. Yang di belakangnya hanya bergeming. Sedikit tersentak tak menyangka.

“Apa maumu sebenarnya?” Ulangnya, kali ini lebih keras.

“Aku tahu, aku tahu kamu yang selalu duduk di belakang aku seperti sekarang ini. Kamu, dan selalu kamu.”

Yang di belakang masih tak mengeluarkan suara. Sebenarnya bingung ingin menjawab atau diam-diam pergi meninggalkan kafe itu seolah tidak terjadi apa-apa.

“Tolong ya, kalau kamu seperti ini terus apa aku bisa hidup dengan tenang?” Tanya Edyta, air matanya hampir tumpah dari pelupuk. Dia telah lama memendam segala rasa yang menyumpat hatinya.

Hening. Pertanyaan Edyta seakan menguap di udara. Edyta mulai terisak, sekuat tenaga ia menggenggam pegangan cangkir untuk menahan tangisnya meledak.

“Lantas kamu mau aku melakukan apa?” Akhirnya, yang di belakang mulai membuka suara meski pertanyaan klise. Suaranya begitu meneduhkan. Edyta juga tak menyangka sosok itu akan menjawab pertanyaannya, ia kira sosok itu hanya bisa diam tak bergerak seperti patung. 

Tell me what I want to hear.” Jawab Edyta lirih setelah mengumpulkan kekuatan untuk bicara.

“Aku mencintaimu.” Ucap yang di belakang, setulus hati dan tanpa ragu.

Edyta terdiam, jawaban itu memang yang ia inginkan, sebuah pengakuan. Ada perasaan lega di dadanya, seutas senyuman tersungging.

“Siapa dirimu?” Tanya Edyta.

“Seseorang yang teramat mencintaimu.”

“Bolehkah aku menoleh?” Hening beberapa detik.

“Sebelum kamu menoleh aku ingin bertanya, mengapa baru kali ini kamu menoleh?”

Edyta tercekat, tak mampu menjawab.

“Menolehlah besok, terserah jam berapa yang penting besok, kalau mata kita bertemu itu artinya kita diperbolehkan oleh Tuhan untuk saling mengenal. Jika tidak, jangan salahkan Tuhan. Itu artinya, Tuhan ingin tetap menjadikanku rahasia darimu, demi kenyataan yang lebih baik untukmu. Biarkan hati yang bicara...”

*

Hari berikutnya sepulang kerja, Edyta menuju kafe tanpa nama. Menjalankan janjinya dengan pemuda misterius yang membuatnya jatuh hati. Tanpa menoleh sedikitpun dan langsung duduk di kursi favoritnya. Sekitar tiga jam hingga senja menghilang, Edyta terus menunggu namun masih belum ada gerakan dan tanda pemuda itu seperti hari yang sudah-sudah. Ia tidak boleh begini, siapa tahu sosok itu sudah ada di belakang meskipun tanpa tanda-tanda. Dengan mantap namun sedikit ragu, Edyta memberanikan diri untuk menoleh.

Seperempat tolehan... Setengah tolehan... dan tolehan sempurna.

Tidak ada. Tidak ada. Tidak ada. Edyta mencari-cari sekeliling dengan gugup namun tidak ada. Tidak ada seorangpun yang ada di kafe itu kecuali pelayan wanita berambut sebahu yang ia kenali. Edyta mencoba percaya pada kenyataan, Tuhan tidak mengijinkan mereka bertemu. Lalu pelayan satu-satunya di kafe itu menghampirinya dan menyerahkan kertas putih, “Ini, Mbak.” Edyta membuka lalu membaca tulisannya; aku mencintaimu.

Setelah menenangkan diri, Edyta beranjak keluar dan terhenti di depan pelayan itu, “Mbak, nama kafenya sebetulnya apa?”

Pelayan itu tersenyum lalu menjawab, “Rahasia...”

-Fin-

3 comments: