Sunday, April 6, 2014

Kecuali Kamu [Sebuah Cerpen] #2

Source: here : Edited by me :)
"Hoi, bengong aja liatin cewek-cewek!” Aku menepuk pundak sahabatku yang sedang terduduk di kursi panjang taman kampus ditemani D18-nya, tadi matanya mengamati segerombolan anak cewek—entah mengamati siapa—namun sekarang berpaling kepadaku. 

“Lama amat!” Gerutunya membuatku terkekeh.

“Di sini aja ya fotonya?” Tawarku.

“Oke. Selfie gimana?” Tanyanya sambil menyeting kameranya.

“Ogaaah, ah. Kan minggu lalu udah selfie. Dimasukin di insta, lagi.” Gantian aku yang menggerutu.

“Ya, deh,” Dia mengarahkan kameranya kepadaku dan mulai menghitung. Aku segera berpose—tersenyum—klasik sekali.

“Seep!”

“Gimana hasilnya?” Tanyaku.

“Yaelah pake nanya, seperti biasa, cantik-manis-menarik!” Jawabnya sambil menoel pipiku lalu merangkul bahuku dengan erat. Ya, dia merangkulku dengan erat tanpa ada apa-apa. Hanya berteman—dekat. Dan rangkulan itu membuat jantungku berpacu lebih cepat.


Setiap kami ngampus dan ada jam pelajaran yang sama, dia akan selalu memotretku menggunakan D18-nya—entah action atau candid. Semester pertama kuliah, seminggu setelah ospek, aku secara tidak sengaja menabrak dia yang berkutat dengan DSLR-nya. Alhasil, kamera mahal itu hancur berkeping-keping.

Aku begitu menyesal dan tak tahu harus berbuat apa. Banyak orang melihatku dan saat itu air mataku hampir tumpah. Biaya kuliah saja bikin orang tuaku mau jual rumah, eh malah menghancurkan kamera mahal. Lalu aku meminta maaf dan bilang berniat mengganti meskipun—yaaah sebagai manusia, kita harus bertanggung jawab, bukan? Anehnya, orang yang kutabrak tidak marah. Malah menolak saat aku mau bertanggung jawab. Lalu kami bernegoisasi. Jadilah perjanjian, setiap kami ada jam kuliah bareng, aku harus jadi modelnya. Hingga saat ini. Dan itulah yang membuat kami begitu dekat dalam artian sahabat. 

Aku sebetulnya bingung dengan jalan pikirannya Adrian. Dia memperlakukanku seperti aku adalah kekasihnya. Wajah tampan, anak asyik, perlakuan manis, klop sama diriku. Bagaimana aku yang tidak jatuh hati? Oh, tidak, apa yang kukatakan? Jatuh cinta dengan sahabatku sendiri?

Klisekah?

Bagiku, jatuh cinta sama Adrian itu dosa. Karena melanggar perjanjian. Pasal kedua ‘perjanjian menjadi objek foto’ yang berbunyi “lo nggak boleh jatuh cinta sama gue.”

*** 

“Bengong, aja liatin orang pacaran! Nih,” Aku menyodorkan teh botol pada Adrian yang sedang mengamati Gia—cewek cantik artis kampus—yang sedang duduk bareng pacarnya. Aku beberapa kali menangkap basah Adrian terus menerus menatap Gia, ah, hari gini siapa yang tidak kesemsem sama Gia—Dian Sasto kloningan, getoo!

Dia kaget lalu mengambil yang kusodorkan. Aku duduk di sebelahnya.

“Cari pacar, dong, Rian!” Godaku.

“Ah, ngapain nyari pacar. Suka aja udah cukup.”

“Suka? Suka sama siapa?” Aku mencoba bertanya, diam-diam jantungku berdetak cepat.

Adrian hanya menyesap teh botol, nampaknya pertanyaanku hanya mengambang di udara. Aku terdiam lalu berkutat dengan handphoneku. Awkward moment-nya kami adalah saat membahas lawan jenis—membahas perasaan. Dan bila seperti itu, sudah dipastikan aku yang kalah.

“Iren bentar, ada sesuatu di pipi lo,” Aku terdiam. Tangannya meraih lalu mengusap pipiku. Sebentar namun membuatku gelagapan. Aduh, aku ini kenapa!

“Ud-udah hilang?” 

“Udah.”

“Cieeee.. Makin soswit aja dari hari ke hari. Pacaran, dong, pacaran! Stuck di siniii aja. Udah nggak jaman hubungan tanpa status tuh!” Cecar seorang yang sangat kukenali, Beni. 

Aku dan Adrian kaget. Sebetulnya dia sering menggodaku saat bersama Adrian. Namun suaranya yang cempreng itu membuat kaget.

“Apaan sih lo!” Adrian segera menjitak kepala Beni.

“He-eh, apaan sih, Ben!” Aku ikut menimpali—dari pada jadi kacang rebus.

“Tau, tuh ganggu orang berduaan aja! Ya, gak, Ren?” Adrian menoleh ke arahku. Hmm, begitulah dia orangnya terlalu unpredictable. 

“Iya.” Jawabku seadanya.

Seperginya Beni, hening menyesap di antara keramaian taman kampus. Nampaknya kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Apa ya, yang dipikirkan Adrian? Kalau dipikiranku ya sudah jelas selalu ada Adrian. Apa saja dari dirinya terus menerus menghantuiku. Apa yang bisa kulakukan agar bayangannya hilang? Meminta kejelasan darinya lalu bilang kalau aku mencintainya apalagi Adrian sudah mencintai orang lain—oh, tidak. Bisa-bisa persahabatan kami hancur. Tapi ya, apa harus selamanya begini? Bisa-bisa aku jadi gila. 

“Rian,”

“Hmm,”

“Kita itu sebenarnya apa?”

“Maksud lo?” 

“Kita,”

Dia terdiam lama, entah tak berniat menjawab atau sedang merangkai kata—

“Temen.” Jawabnya, seadanya. Aku menghela nafas panjang. Selalu saja begini, too unpredictable. 

“Temen?!” Kutatap matanya dengan mataku yang memicing. Lalu aku berdiri hendak meninggalkan tempat itu. Terlalu malas melanjutkan perdebatan yang pasti tak berujung. Namun Adrian menahanku, dipegangnya pergelangan tanganku dengan erat lalu dihempaskan.

“Lo kenapa, sih?” Matanya yang mulai memerah balas memicing kepadaku. Aku berpaling mencoba meninggalkan tempat itu namun lagi-lagi ia tahan.

“Ngomong, dong!!” Bentaknya membuatku takut. Aku menggigit bagian bawah bibirku untuk menahan air mata tak jatuh. Jangan nangis, jangan nangis, dan jatuh juga.

“Irena? Lo... Lo nangis?!” Kini dia terlihat tak menyangka. Selama aku mengenal dia, kurasa aku belum pernah memunculkan air mataku ke berat apapun keadaannya, tapi kini? Wajar saja kalau dia terkejut.

“Ren, plis jangan buat gue lebih gila lagi,” Dia mencoba membersihkan wajahku dari air mata. Mungkin saat ini ada beberapa pasang mata yang memperhatikan kami tapi masa bodoh. 

“Gue suka sama lo, bodoh!” Ucap gue lirih lalu menunduk—terisak lagi. Akhirnya keluar juga kata-kata yang telah sekian lama kupendam. Adrian mulai mengendurkan genggamannya. 

“Gue udah peringatin lo supaya gak jatuh cinta sama gue.” Ucapnya.

***

Beberapa bulan setelah kejadian itu—aku nggak mau mengingat-ingat tepatnya berapa bulan. Aku sama dia—Adrian berhenti melakukan ‘kebiasaan’ kami sebelum masuk kelas. Jangankan itu, aku dan dia sudah berhenti berhubungan, berhenti ketemu!

Sebetulnya aku yang menghindar darinya. Adrian sudah beberapa kali memanggil dan menahanku untuk bicara, namun aku selalu menolak—alasan sibuk. Padahal alasan sebenarnya adalah belum siap. Belum siap menatap matanya yang teduh, belum siap mendengarkan suaranya yang lantang. Menghindar memang alat terampuh saat belum siap menerima kenyataan.

Irena, kutunggu di bangku taman kampus favorit kita. Plis, dateng.

Aku menghela nafas. BBM dari Adrian. Dia tidak pernah absen seharipun mengirimiku pesan seperti itu. Dan mungkin kali ini aku akan menyerah. Kulangkahkan kaki menuju taman kampus, kuedarkan pandanganku, dan dia ada disana—memakai baju merah, rambut kucel, wajah pucat, seperti mayat berjalan saja dia!

“Apa yang pengen lo bicarain, gue udah disini.” Dia mendongak tak percaya, lalu aku duduk di sampingnya tanpa izin, seperti kebiasaanku dulu—ya ampun.

“Gue kira lo gak dateng,”

“Udah kayak mayat hidup aja, lo.” Entah angin dari mana membuatku melontarkan kata seperti itu. Tak terkontrol.

“Gara-gara lo,” 

“Kenapa manggil gue kesini? Mau merengek minta gue jadi temen lo lagi?!” 

Dia menggeleng.

“Belakangan ini gue tersiksa banget, gak ada lo.”

“Bukannya TEMEN lo juga masih banyak?!” 

“Ren, gue cinta sama seseorang—cinta pertama gue.”

“Siapa?”

“Lo,”

“Cih! Gue tahu lo bohong.”

“Gia.”

“Oh.”

Sedetik kemudian, Adrian menarikku ke pelukannya.

“Lo tau sendiri kan, Ren, banyak cewek yang suka sama gue tapi gue tolak mereka semua meski ada beberapa yang gue juga sukai balik. Gue tolak mereka karena gue mencoba setia sama cinta pertama gue, si Gia. Tapi, gue gak bisa ngelakuin itu buat lo. Gue bisa nolak mereka yang suka sama gue buat masuk ke kehidupan gue—kecuali lo.”

“Kehilangan lo itu, seperti kehilangan separuh jiwa gue, Irena,”

“Aku cinta kamu.” 

-Fin-

1 comment: