Wednesday, April 9, 2014

Di Tempatku [Sebuah Cerpen] #4

Source: here | Edited by me :)

“Jadi, lo masih gak bisa move on dari mantan lo?” Dua orang pemuda sedang tiduran di kursi lebar depan kost mereka, mereka sering curhat sambil menunggu malam seperti sekarang ini.

“Kagak! Mantan tuh di buang ke laut aja, Han!” Jawab Izal. 

“Terus, napa lo masih jomblo?” Tanya Yuhan.

“Yah, biar jomblo penting ganteng, kan?” Mereka berdua tertawa. 

“Gua punya gebetan, Han! Dia cakep banget, salah satu vokalis band yang terkenal di kampus! Gua dikenalin sama si Kemal dan gua cinta pada pandangan pertama!” Pamer Izal soal gebetannya dengan menggebu-gebu.

“Kalo lo cinta, tembak dong! Jangan tarik ulur doang! Ditolak atau diterima itu urusan belakang, semangat, sob!” Yuhan menepuk-nepuk pundak Izal yang meringis.


“Tengs, Han! Lo emang penyemangat gua! Oke, gua akan rencanain penembakannya sama si Kemal.” Izal mengepalkan tangannya bersemangat lalu terdiam, “Lo sendiri sejak gua kenal lo masih jomblo aja?” 

“Gue sih.... Kebalikan dari lo. Masih cinta sama mantan,” Jawab Yuhan membuat Izal melongo.

“Dia cinta pertama gue...” Lanjut Yuhan. Izal mangut-mangut. 

“Sejak SMA?”

“Yoi, gue pacaran sama dia saat kelas sebelas—“ Bunyi telepon masuk Izal menginterupsi perkataan Yuhan. Izal kemudian mengangkatnya, 

“Iye, gua lagi di kost. Napa, Mal? Sekarang? Di kafe Vern? Oke, oke gua kesana.” 

“Sori, Han, gua harus cabut.” Yuhan mengangguk.

“Urusan cewek?” Tanya Yuhan menggoda. Izal hanya terkekeh lalu menaiki motornya menuju ke arah barat meninggalkan kost.

*** 

“Heh, lama amat, lo! Tuh, gebetan lo udah di panggung!”

“Diandra? Dia mau nyanyi?” 

“Ya iya, lah. Masa mau nge-drum!” 

“Zal, sini!” Diandra turun dari panggung lalu menarik lengan Izal. 

“Mau nyanyi, Di?”

“Lah, pake nanya, iya. Duet sama kamu!” 

“Gua?”

“Katanya Kemal gitu.” 

Izal menatap Kemal yang sedang tersenyum licik dengan clueless. Lalu menghampiri Kemal.

“Maksud lo apaan?!” 

“Heh, heh! Santai, gak malu apa diliatin banyak orang! Udah, duet aja sama si Diandra. Trus tembak dia pas lagunya selesai!”

Izal terdiam, “Lo udah rencanain ini semua?”

“Ya iya! Lo kan udah ngempet pengen nge-gaet si Dian. Udah sana, samperin si Dian! Jangan lupa, yang romantis biar diterima!” Kemal mendorong tubuh Izal, lalu Izal melangkah ke panggung dan duduk di samping Dian yang sedang check sound.

“Lagunya apaan, Di?”

“Speed of Sound.” Jawab Diandra singkat lalu tersenyum ke arah Izal yang menghela napas lega. Untung saja lagu yang dia bisa.

“Siap, Zal?” Izal mengangguk kemudian tuts keyboard berdenting.


“Pokoknya setelah lagu selesai gua harus tembak Diandra di hadapan orang-orang di kafe ini, hilangkan malu hilangkan gengsi!” Tekad Izal.


Setelah lagu selesai, Diandra beranjak dan hendak keluar dari panggung namun Izal menahannya dengan memegang pergelangan tangan Diandra. Diandra kaget. Bersamaan dengan itu lampu kafe meredup diganti dengan cahaya lilin yang sudah di siapkan Kemal. Saatnya Izal beraksi.

“Di.....” Izal menatap bola mata Diandra lekat-lekat. Diperhatikannya wajah calon pacarnya yang begitu mempesona.

“Udah kurang lebih sebulan kita deket, namun kita berdua pasti bosen kalau hubungan gini-gini aja. Gua sadar, Di. Gua cinta sama lo.”

Diandra tersenyum. Kafe mendadak riuh dan banyak yang bersiul.

“Diandra, would you be my girl?” 

Seluruh orang menyaksikan adegan romantis itu lalu berteriak, “Terima-terima!”

Diandra menunduk tak bisa menyembunyikan senyum bahagianya, baginya inilah saat yang dia tunggu. Ditembak Izal, seorang bintang kampus apalagi di depan orang banyak.

Yes I would.” Sedetik kemudian, Izal menarik tubuh Diandra ke pelukannya.

*** 

“Kabarnya ada yang gak lagi jomblo, nih...” Goda Yuhan saat bertemu dengan Izal di pelataran kost. 

Izal terkekeh, “Udah lama gak ngobrol, kangen gua sama lo! Duduk dulu.” Izal menarik Yuhan untuk duduk di kursi panjang tempat bersantai di depan kamar kost. 

“Gua nembak dia seminggu lalu, malam terakhir kita ngobrol!”

“Asek, dah! Lo mau kemana?”

“Sebenarnya mau ke kostnya pacar gua, tapi ntar aja. Kita ngobrol dulu. Gua masih penasaran sama topik kita yang dulu, kalo nggak salah cinta pertama lo?”

Yuhan tergelak. “Kenapa tiba-tiba nanya itu?”

“Yah, dulu pas lo mau cerita kan Kemal nelpon gua. Siapa namanya? Biar gua bantuin buat balikan. Nggak enak juga kan kalau curhat pacar sama orang jomblo.” Celetuk Izal.

Yuhan meninju pelan lengan Izal, “Sialan lo!” Mereka terkekeh.

“Namanya siapa? Temen sekampus gak?”

“Ogah ngasih tau namanya, inisialnya A. Temen sekampus kita tapi beda jurusan.”

“Yah, gak asik, lo! Nama, dong nama!” 

“Andra, nama mantan dan cinta pertama gue sejak SMA. Lo sendiri gak ngasih tau nama pacar lo!”

“Andra? Pasti cakep, neh. Oke gua bakal nyari info tentang Andra. Lah? Emang lo belum tau? Gak nanya ke anak kost lain?”

“Gue kan pengen denger dari mulut lo sendiri.”

Izal terkekeh, “Oke bentar, ada telpon.” 

“Iya, Di? Iya, ini udah otewe ke kost, oke. Iya, bye!”

“Sob sori banget...”

“Iya, gue ngarti. Sana pergi sebelum diputusin Didi.” 

“Sialan! Namanya bukan Didi!”

*** 

“Hai, Say,”

“Hai,” Izal dan Diandra duduk di ayunan depan kamar Diandra.

“Happy satu bulanan, ya, Say!” 

“Wah, gak nyangka udah satu bulan aja.” Mereka berdua tersenyum.

“Aku ambilin minum?” 

“Enggak usah.” 

“Enaknya ngapain ya?” Tanya Diandra.

“Nonton?”

“Di tablet aja ya? Oke, aku ambil dulu.” Izal mengangguk. Mereka memang sering nonton film lewat tablet di atas ayunan besi ini. Film favorit Izal adalah action namun favorit Diandra adalah horror. Jadi, keseringan mereka menonton film thriller—perpaduan, kalau kata mereka.

“Di, kenapa kok kita pacarannya di tempat kamu terus? Di tempatku dong, sekali-kali.” Izal tiba-tiba bertanya di tengan film yang sedang berjalan.

“Di sini lebih enak, kan, say? Ada ayunannya.”

“Yah, di kostku juga banyak kursi bambunya.” 

“Enggak, enak kalau di kursi. Nggak nyaman! Masa iya cewek ke kost cowok. Kalau di kostku sini kan kost cowok-cewek. Emangnya kamu keberatan?”

Izal terdiam sejenak, “Ya, enggak tapi—“

“Udah, tuh filmnya lagi seru!” Izal menghela nafas. Ini bukan pertama kalinya ia bertanya kepada pacarnya mengapa ia tak pernah mau diajak ke kostnya. Hingga saat ini, Izal memilih untuk mengalah.

“Di, bentar, ya, mau nge-cek sepeda motor. Nggak dikunci soalnya. Nggak tau kalau mau nonton film.” 

“Oke.”

Izal melangkah ke pelataran kost yang agak jauh dari kamar Diandra yang letaknya di dalam. Ia meraih motornya lalu mengunci tenggok. Izal melangkah kembali ke ayunan depan kamar namun ia melihat Diandra berbincang dengan temannya. Sepertinya itu sahabatnya karena sering jalan bersama Diandra. 

“Kenapa? Lo gak suka?” Terdengar suara Diandra yang agak keras.

“Bukan gitu, Di. Emang lo gak ngerasa gak enak sama anak-anak yang lain?” 

“Biar mereka tau, dong kalau Izal itu pacar gue, pacar DIANDRA!” 

“Siapa, sih, Di yang gak tahu tentang lo berdua. Cuma—“

“Alah! Lo iri kan sama gue?” 

Mendengar percakapan mereka, Izal menjadi geram. Ternyata—

“Diandra!” Izal sedikit berteriak.

Diandra kaget, wajahnya memucat, sahabatnya itu pergi tanpa disuruh. Izal menghampiri Diandra dengan wajah merah padam.

“Bisa-bisanya lo!”

“Zal, gue bisa jelasin—“

“Ternyata lo gak tulus sama gue, lo selalu ngajak gue ke tempat lo buat pamer ke temen-temen lo, ya kan?”

“Enggak, lo salah paham—“

“Putus, Di.” Izal berkata dengan tegas membuat air mata di pelupuk Diandra jatuh.

“Enggak! Izal—“

Izal kemudian pergi meninggalkan Diandra.

Awalnya gitu, Zal. Tapi kalau aku gak tulus sama kamu, ngapain sekarang ini aku nangisin kamu?”

*** 

“Gua putus, Han!” 

“Hah?!” 

“Dia gak tulus sama gua.”

“Kok bisa, sih. Jarang, lho ada cewek yang gak tulus. Palingan lo salah paham.”

“Salah paham gimana! Dia cuma manfaating gua.”

“Hmmmh, sabar aja, Sob. Cewek gak cuma Didi.”

Izal menatap Yuhan ganas, “Namanya bukan Didi, namanya Diandra! Cakep-cakep lo panggil Didi.” 

Alis Yuhan mengerut, “Diandra?” 

Hening.

Suara Yuhan merendah, “Gimanapun lo harus sabar.... Sob.”

*** 

“Lo harus kesini!”

“Apaan sih, Mal? Gua baru bangun tidur nih,” 

“Lo kayak mayat hidup tahu, setelah putus sama Diandra.”

“I’m okay. Santai aja kali—“

“Lo HARUS kesini?”

“Apaan sih? Jangan teriak-teriak!” 

“Ke sini, kafe Vren. CEPETAN!”

Izal mengucek matanya, menutup sambungan telepon dengan Kemal. Ia merasa kesal namun bagaimanapun, ia bersiap untuk pergi ke kafe Vren. Mendengar suara Kemal yang seperti ayam kesurupan.

Sesampainya di kafe Vren, Izal melangkah masuk. Langkahnya seketika terhenti saat melihat Diandra di panggung kafe yang luas itu. Dalam hati ia menyumpahi Kemal. Lalu ia berbalik hendak keluar dari kafe. Namun Kemal menghalanginya.

“Sob, sob! Dengerin gue sekali aja, SEKALI!”

“Apaan lo, bersekutu dengan Diandra, sialan, lo!”

“Ini permintaan Diandra sendiri, sekali aja. Lo harus masuk.”

“Ogah!”

“Oke, kalau lo gak mau, di sini aja. Lo pasti denger nyanyiannya si Diandra.”

“Cih! Norak banget, pake lagu.”

“Dengerin aja!” Kemal membekap mulut Izal, seketika Izal terdiam. Suasana sekitar mereka menjadi senyap. Terdengar lantunan lagu dari dalam kafe. Come back... Be here, dengan suara Diandra yang khas. 

Izal hanya diam mendengarnya, ia dapan merasakan perasaan Diandra sendiri dari lagu yang Diandra nyanyikan meskipun tidak terlalu jelas. Izal seperti terhipnotis memasuki kafe itu lagi, di sana ia melihat Diandra menyanyi—seperti biasa. Namun yang tidak seperti biasa adalah, Diandra menangis saat menyanyikannya.


“And this is when the feeling sinks in
I don't wanna miss you like this
Come back... be here

Come back... be here, Izal. I’m so so loved you....”


Lagu selesai. 

Izal bergeming, masih ragu—

“Izal, aku minta maaf.” Tambah deras air mata Diandra, disertai isakan yang keras. Diandra terlihat begitu rapuh namun tersirat ketulusan Diandra. Izal ingin memeluk dan menghapus air matanya namun—

Tak bisa ditahan lagi, ia melangkah ke arah Diandra lalu menghapus air matanya yang mengalir.

***

Setelah Izal dan Diandra berbaikan, Diandra berjanji akan bergantian ke kost Izal. 

“Jadi ini kost kamu?” Tanya Diandra.

Izal mengangguk.

“Lumayan—“

“Lumayan apa?!” Izal mencubit pipi Diandra dengan gemas, “Sini kukenalin ke sohib dulu.”

“Hei, Han!” Izal menepuk pundak Yuhan yang sedang bermain catur bersama teman yang lain. 

“Sini, gua kenalin ke pacar gua! Maaf ya, gua pinjem Yuhan-nya!” 

“Mana pacar lo, Zal?—“ 

“Nih, Han! Kenalin ini Diandra yang lo sebut-sebut sebagai Didi. Dan, Di, ini Yuhan, temen curhat! Hehe.”

“Hai, Di-an-dra. Lama gak ketemu.” Yuhan bersalaman dengan Diandra dengan kaku.

“Loh, kalian saling kenal?”

“Temen SMA, ya gak, Han? Hehe.” Jawab Diandra sambil terkekeh.

“Selamet, Zal. Pacar lo cakep kayak yang lo kata. Ya udah gue permisi dulu, enjoy pacarannya!” 

“Loh, Han? Main pergi aja tuh anak? Mana kayaknya sakit lagi—“

“Gak nyangka kamu temennya Yuhan,”

“Eh iya, kamu kok gak beramah-tamah sama temen SMA kamu?”

“Kami gak terlalu deket.”

*** 

Seperginya Diandra, Izal terduduk sendiri di kursi besar menatap langit sore seperti biasa, namun kali ini tanpa Yuhan dan tanpa curhatan. Ia merasa akhir-akhir ini Yuhan sibuk. Atau..... Jangan-jangan Yuhan punya pacar baru. Biasanya kan, kalau punya pacar baru jadi sok-sok sibuk.

Mata Izal bersinar melihat Yuhan memarkir motornya, “Hoi, Han!”

“Hoi,”

“Jadi sibuk nih, lo?”

Yuhan terkekeh, “Iya.” Ia jawab sekenanya.

“Pacar baru ya? Biasanya kalau punya pacar baru jadi sibuk. Siapa, nih? Cerita dong!”

Kening Yuhan mengerut, “Bukannya lo selalu bosan kalau gue cerita tentang orang yang gue suka?” Jawab Yuhan sedikit sewot, lalu meninggalkan Izal yang terbengong-bengong.

*** 

Izal merasa persahabatannya dengan Yuhan merenggang. Yuhan jadi sibuk sendiri. Dan Izal sedikit merasa sepi tanpa Yuhan yang dulu. Izal semakin yakin kalau Yuhan punya pacar baru dilihat dari gerak-geriknya. Dan itulah yang membuat Izal semakin penasaran.

Yuhan dari jam delapan berangkat ke kampus, sedangkan Izal dapat jadwal kuliah sore. Pacarnya juga sudah berangkat dari pagi. Yang Izal lakukan hanya mendengarkan lagu di kursi besar. 

“Zaaaal! Ada telpon! Cepetan sini.”

“Hah?! Telpon? Hape gua aja di sini, kok? Lah trus ini hape siapa?” Mahdi menyodorkan hape yang berbunyi nyaring karena panggilan masuk –mirip dengan milik Izal.

“Oh, punya si Yuhan. Hape kita kembar! Kok tumben, dia lupa bawa hape? Sini, biar gua yang urus.”

Izal membaca di layar, Syahrida. “Pasti ini pacarnya si Yuhan!”

Saat hendak menekan tombol hijau, panggilan terputus, “Yah, gimana, sih!” Lalu Izal meletakkan hape Yuhan di samping hapenya.


“Mumpung hape Yuhan di sini, gua ubek-ubek aja siapa tahu ada foto pacarnya.”


Diraihnya hape Yuhan dan Izal mulai menjelajahinya, hingga pada galeri. Izal terus melihat foto-foto, sampai di satu foto seorang yang familiar. Diandra. Di foto itu tertulis ‘Andra’. 

Bagaimana bisa?


“Andra, nama mantan dan cinta pertama gue sejak SMA.”


Detak jantung Izal seolah berhenti teringat perkataan Yuhan sore itu. 

Seketika, Yuhan lunglai namun kembali menjelajahi galeri Yuhan. Namun tetap yang ia temukan adalah foto dari orang yang sama, Dianda. 

Biarkan Izal berfikir.....

Jadi, Diandra dan Andra adalah orang yang sama. Itu jelas dari nama yang benar-benar mirip.

Jadi, membawa Diandra ke tempatnya adalah kesalahan besar.

Jadi, ia harus memilih dari dua pilihan yang berat; memilih cinta pandangan pertamanya, atau, cinta pertama teman curhatnya.


Pilihlah, Zal...

-FIN-



No comments:

Post a Comment