Saturday, April 19, 2014

Tak Lagi Mencintaimu [Sebuah Cerpen] #5

Source: here | Edited by me :)
Dulu sebelum hari ini, aku sempat begitu ingin hari ini datang. Namun setelah hari ini datang, nampaknya keinginanku itu berbalik menjadi sebuah omong kosong. 

Ini kisah tentang orang pertama yang lama mendiami hatiku, dulu.

Aku ingat betul saat baru saja keluar dari Gramedia, di salah satu meja kafe seberang jalan aku melihat jelas dirimu duduk berseberangan dengan gadis lain yang tak kukenal. Kamu bahkan memegangi tangan mungil gadis itu seperti dia itu milikmu. Tapi saat itu pikiranku sungguh dangkal—ah, palingan juga klienmu. Namun tak bisa dipungkiri, ada sedikit rasa cemburu menyelimuti.

Setelah hari Gramedia itu, aku seperti tertampar oleh de javu. Aku melihat wajahmu nan menawan itu di restoran ternama, ayalnya kamu bersama gadis itu lagi. Aku bertanya-tanya apa yang kau cari dari gadis itu hingga membuatmu sedekat itu.
Apa yang kau sembunyikan dariku sejak beberapa hari tanpa menghubungiku. Rasanya saat itu juga aku ingin melemparkan tasku ke mejanya dan meluapkan apa yang kurasa. Untunglah aku sadar, karena setiap hal yang diawali dengan kemarahan pasti menimbulkan penyesalan. Lalu aku berlalu.

Pertemuan pertama setelah lebih seminggu tanpa hubungan jatuh di taman kota. Kamu mengajakku jalan-jalan sembari menikmati langit sore. Aku tak kuasa menolak karena rindu ini semakin besar juga rasa penasaran itu. Kamu begitu tampan memakai kaus hijau kesukaanmu dan bawahan jeans abu tersenyum padaku, menyerahkan seikat bunga yang kau bawa. Aku hanya tersenyum. Sepertinya bayanganku tentang hari itu benar. Aku dan dirimu menjadi begitu jauh. Tampak jelas sekali jurang pemisah di antara kita. Apapun perkataanmu tak kurespon sama sekali. Karena aku gusar denganmu, siapa gadis itu menjadi tanda tanya besar buatku. Jadilah pembicaraan canggung yang tak berujung. Lalu kamu bertanya dengan tak sabar, ada apa diriku gerangan. Aku hanya memutar bola mata. 

“Kamu sakit?” Tanyamu sambil memegang keningku. 

Aku menggeleng lalu menatap matamu lekat-lekat.

“Ada apa? Bicara sama aku!” 

Aku tak melepaskan mataku dari matamu, begitupun kamu. Hingga aku memberanikan diri bertanya tentang—

Here we go.

“Siapa dia?” Tanyaku tajam. Kamu jadi gusar, dahimu berkerut matamu mencoba melepaskan dari mataku namun aku tetap mencari matamu.

“Cewek mungil berambut keunguan bergelombang sebahu.” Tambahku.

“Bukan siapa-siapa,” Jawabmu. Aku menatap matamu semakin dalam, lalu kamu berpaling.

“Kami temen, gak lebih, percaya dong!” Kamu jadi gugup.

“Beneran itu—dia sama aku cuma temen. Dia klien aku juga, dia kerja, kerja di tempat aku. Beneran itu.”

Bagus sekali alasanmu. Dia klienmu dan kerja di tempatmu? Itu alasan terbaik di dunia. 

Aku tersenyum sinis. Kulihat kamu semakin gugup karena diamku. Wajahmu yang putih berubah merah. Kamu lalu memegang kedua lenganku dengan keras, mendekatkan wajahmu yang merah ke wajahku.

“Oke, dia simpananku!” Akumu. 

“Aku tak mencintaimu lagi, Pev.” Kamu menunduk. 

Seperti belati yang menghujam rasanya. Mataku sudah perih. Kalimat itu berarti akhir dari hubungan dua tahun ini. Akhir dari segalanya. Tak apa, Pevita.

Aku membuang bunga darimu, lalu melangkah meninggalkanmu, tanpa sepatah kata apapun.

*

Itulah akhir kisahku denganmu. 

Seperti yang kuucap di awal, dulu sebelum hari ini dan setelah hari itu aku pernah ingin hari ini datang. Hari dimana kamu datang lagi di hidupku. Setelah sekian lama. Entah untuk apa.

“Hei,” Sapamu di seberang. Kita sedang duduk di kafe pertama kita bertemu. Kamu memakai kaus putih dagadu dan celana jeans dongker. Sederhana, namun kuakui kamu begitu tampan.

Aku tersenyum.

“Kamu makin cantik aja, Pev.” 

Aku tersenyum lagi. Lalu meneguk affogato yang baru saja datang.

“Pevita, jujur aku menyesal melepasmu sore itu.”

Here we go, the past.

Sesuatu yang kuingin dulu sebelum hari ini, tepat saat ini datang.

“Pev, balik lagi, yuk. Aku tak berdaya tanpa kamu, Pev. Aku menyesal dan aku harap kesempatan kedua. Aku yakin kamu masih ada rasa sama aku.”

Aku bergeming.

“Gimana, Pev?”

“Please, Pev. Aku bersungguh-sungguh,”

Aku masih bergeming. 

“Jangan diam, dong. Ucap sesuatu, Pev. Aku bingung kamu diam aja dari tadi.”

Oh, Tuhan.

“Pevita!!” Teriakmu.

Aku menggenggam erat pegangan kursi, menggigit bagian bawah bibirku menahan amarah. Lalu kuhela nafas dalam-dalam.

“Aku tak mencintaimu lagi, Jordi!” Kataku.

“Aku tak mencintaimu lagi seperti hari kemarin...”



-FIN-

No comments:

Post a Comment